Senin, 20 September 2010

Menulis kreatif naskah drama satu babak dengan memerhatikan keaslian ide

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Nama Sekolah : SMP Negeri 1 Klego
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : VIII/1
Standar Kompetensi : 8. Mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui kegiatan
menulis kreatif naskah drama
Kompetensi Dasar :8.1 Menulis kreatif naskah drama satu babak dengan memerhatikan keaslian ide
Indikator (1) Siswa mampu menentukan ide untuk menulis naskah drama
(2) Siswa mampu mengembangkan ide menjadi naskah drama satu babak
(3) Siswa mampu menanggapi naskah drama yang sudah dibuat oleh temannya
Alokasi Waktu : 4 x40 menit (2 pertemuan)

I. Tujuan Pembelajaran
Siswa mampu menulis naskah drama dengan memerhatikan keaslian ide.

II. Materi Pembelajaran
Penulisan naskah drama

III. Metode Pembelajaran
– Contoh
– Tanya jawab
– Diskusi kelompok
– Latihan




IV. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan Pertama
A. Kegiatan Awal
• Guru bertanya jawab tentang karakteristik naskah drama kepada siswa
• Guru bertanya jawab tentang judul-judul naskah drama yang populer kepada siswa
B. Kegiatan Inti
• Siswa membaca naskah drama yang terdapat pada buku siswa
• Guru dan siswa bertanya jawab tentang bagian-bagian naskah drama
• Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok
• Masing-masing kelompok mendiskusikan ide untuk menulis naskah drama
• Masing-masing kelompok latihan menulis naskah drama berdasarkan ide yang sudah didiskusikan sebelumnya
C. Kegiatan Akhir
• Siswa dan guru melakukan refleksi

Pertemuan Kedua
A. Kegiatan Awal
• Siswa dan guru bertanya jawab tentang kegiatan menulis naskah drama yang dilakukan pada pertemuan sebelumnya.
• Siswa berkelompok sesuai dengan kegiatan sebelumnya
B. Kegiatan Inti
• Perwakilan dari masing-masing kelompok membacakan naskah drama yang sudah dibuat pada pertemuan sebelumnya
• Guru dan siswa yang lain menilai kelompok yang tampil
• Secara bergantian siswa menilai temannya yang tampil dan memberikan komentar
• Siswa dan guru menentukan naskah terbaik
• Guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang naskahnya menjadi naskah terbaik
C. Kegiatan Akhir
● Siswa dan guru menyimpulkan naskah drama yang baik
● Siswa dan guru melakukan refleksi
● Siswa dan guru merancang pembelajaran berikutnya berdasarkan pengalaman pembelajaran saat itu

V. Sumber/Bahan/Alat
▪ Contoh naskah drama
▪ Ide untuk menulis naskah drama
▪ Anipudin dkk. 2007. Cermat Berbahasa 2A. Solo: Tiga Serangkai.

VI. Penilaian
Bentuk tes: lisan dan tertulis
No Aspek penilaian Bobot Nilai
1 Menentukan ide untuk menulis naskah drama dengan memerhatikan orisinalitas ide:
a. Menarik dan kreatif (3)
b. Kurang menarik, tetapi kreatif (2)
c. Tidak menarik dan tidak kreatif (1) 5
2 Mengembangkan ide menjadi naskah drama
a. Baik (3)
b. Kurang baik (2)
c. Tidak baik (1) 5
3 Membacakan naskah drama bersama kelompok
a. Menarik (3)
b. Kurang menarik (2)
c. Tidak menarik (1)
5

Keterangan:
Skor maksimum: 3 ( 3 x 5 ) = 45
Nilai perolehan siswa = (Skor perolehan : Skor maksimum) X 100





Surakarta, 22 Mei 2009
Mengetahui, Guru mata pelajaran,
Kepala Sekolah


……………….…… Ika Rahayu Susilaningsih
NIP NIM K 1207020

RAGAM BAHASA BERDASARKAN KELAS SOSIAL

RAGAM BAHASA BERDASARKAN KELAS SOSIAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester Lima
Mata Kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengampu: Sri Hastuti, S.S














Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020




PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
RAGAM BAHASA BERDASARKAN KELAS SOSIAL

Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mengenal adanya ragam bahasa berdasarkan kelas sosial.Daerah-daerah yang mengenal ragam bahasa tersebut antara lain:
1. Sunda
Bahasa Sunda dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Sesuai dengan sejarah kebudayaannya, bahasa Sunda dituturkan di provinsi Banten khususnya di kawasan selatan provinsi tersebut, sebagian besar wilayah Jawa Barat (kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi dimana penutur bahasa ini semakin berkurang), dan melebar hingga batas Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah.
Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda beragam, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek yang berbeda. Dialek-dialek ini adalah:
• Dialek Barat
• Dialek Utara
• Dialek Selatan
• Dialek Tengah Timur
• Dialek Timur Laut
• Dialek Tenggara
Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar Majalengka. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek ini juga dipertuturkan di beberapa bagian Brebes, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis.
Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar Sunda. Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan sebagainya. Ironisnya, nama Cilacap banyak yang menentang bahwa ini merupakan nama Sunda. Mereka berpendapat bahwa nama ini merupakan nama Jawa yang "disundakan", sebab pada abad ke-19 nama ini seringkali ditulis sebagai "Clacap".
Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama "Dieng" yang dianggap sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna). Seiring mobilisasi warga suku Sunda, penutur bahasa ini kian menyebar. Misalnya, di Lampung, di Jambi, Riau dan Kalimantan Selatan banyak sekali, warga Sunda menetap di daerah baru tersebut.
Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-Islam, bahasa Sunda - terutama di wilayah Parahyangan - mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar) tetap dominan. Di bawah ini disajikan beberapa contoh.
Tempat:
Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal) Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
di atas .. di luhur .. di luhur ..
di belakang .. di tukang .. di pengker ..
di bawah .. di handap .. di handap ..
di dalam .. di jero .. di lebet ..
di luar .. di luar .. di luar ..
di samping .. di samping .. di gigir ..
di antara ..
dan .. di antara ..
jeung .. di antawis ..
sareng ..
Waktu:
Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal) Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
sebelum saacan sateuacan
sesudah sanggeus saparantos
ketika basa nalika
Besok Isukan Enjing
Lain Lain:
Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal) Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
Dari Tina Tina
Ada Aya Nyondong
Tidak Embung Alim

2. Surakarta dan Yogyakarta
Dialaek sosial dalam bahasa jawa (Surakarta dan Yogyakarta) berbentuk sebagai berikut:
a. Ngoko lugu
b. Ngoko andhap
c. Madya
d. Madyantara
e. Krama
f. Krama inggil
g. Bagongan
h. Kedhaton
Kedua dialek terakhir digunakan di kalangan keluarga keraton dan sulit dipahami oleh orang jawa kebanyakan.
Di bawah ini disajikan contoh sebuah kaliamt dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda tadi:
• Bahasa Indonesia: “Maaf, saya mau tanya rumah kak Budi itu, di mana?”
• Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon omahe Budi kuwi neng ndi?”
• Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, daleme mas budi kuwi neng ndi?”
• Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahe mas Budi kuwi neng ndi?”
• Madya: “Nuwun sewu, kula ajeng tangklet, griyane mas Budi niku teng pundi?”
• Madya alus: “Nuwun sewu, kula ajeng tangklet , daleme mas Budi niku teng pundi?”
• Krama andhap: “Nuwun sewu, dalem badhe nyuwun pirsa, griyanipun mas Budi menika wonten pundi?”
• Krama: “Nuwun sewu, kula badhe taken, griyanipun mas Budi punika wonten pundi?”
• Krama inggil: “nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika wonten pundi?”
Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tata bahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Namun juga harus diakui bahwa tidak semua penutur bahasa jawa mengenal semuanya. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.

3. Surabaya
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Batas wilayah penggunaan dialek Suroboyoan diperkirakan sampai wilayah:
• Wilayah Selatan
Perak (Kab. Jombang - bukan Tanjung Perak di Surabaya).
Wilayah Perak Utara masih menggunakan Dialek Surabaya, sementara Perak Selatan telah menggunakan Dialek Kulonan.
• Wilayah Utara
Madura
Beberapa orang Madura dapat menggunakan Dialek ini secara aktif.
• Barat
Wilayah Gresik
• Timur
Belum diketahui secara pasti, namun di sepanjang pesisir tengah Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo sampai Banyuwangi) Dialek ini juga banyak digunakan.
Akhir-akhir ini, banyak media lokal yang menggunakan dialek Surabaya sebagai bahasa pengantar mereka.
Orang Surabaya lebih sering menggunakan partikel "rek" sebagai ciri khas mereka. Partikel ini berasal dari kata "arek", yang dalam dialek Surabaya menggantikan kata "bocah" (anak) dalam bahasa Jawa standar. Partikel lain adalah "seh" (e dibaca seperti e dalam kata edan), yang dlam bahasa Indonesia setara dengan partikel "sih".
Orang Surabaya juga sering mengucapkan kata "titip" secara /tetep/, dengan diucapkan seperti /e/ dalam kata "edan"; dan kata "tutup" secara /totop/ dengan u diucapkan seperti /o/ dalam kata "soto". Selain itu, vokal terbuka sering dibuat hambat, seperti misalnya: "kaya" (=seperti) lebih banyak diucapkan /k@y@?/ daripada /k@y@/, kata "isa" (=bisa) sering diucapkan /is@?/ daripada /is@/.
Berikut ini beberapa kosa kata berdasarkan kelas sosial yang ada di Surabaya:
Bahasa Indonesia Dialek Surabaya (Ngoko) Dialek Surabaya (Krama alus) Dialek Surabaya (Krama inggil)
Kamu Koen Peno/Sampean Panjenengan
Makan Mbadog Mangan Dhahar
Pergi Lungo Kesa Tindak
Kepala Ndas Sirah Mustaka

DESAIN PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI

DESAIN PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester Lima
Mata Kuliah Perencanaan Pengajaran Bahasa dan Sastra
Dosen Pengampu: Ratna P. M.Pd







Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020




PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
Desain Pembelajaran Berbasis Kompetensi

Desain pembelajaran menurut istilah dapat didefinisikan :
1. Proses untuk menentukan metode pembelajaran apa yang paling baik dilaksanakan agar timbul perubahan pengetahuan dan keterampilan pada diri pemelajar ke arah yang dikehendaki (Reigeluth)
2. Rencana tindakan yang terintegrasi meliputi komponen tujuan, metode dan penilaian untuk memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan (Briggs)
3. Proses untuk merinci kondisi untuk belajar, dengan tujuan makro untuk menciptakan strategi dan produk, dan tujuan mikro untuk menghasilkan program pelajaran atau modul (Seels & Richey)
Komponen dasar dari desain pembelajaran adalah:
• Pebelajar ( pihak yang menjadi fokus )
Yang perlu diketahui meliputi karakteristik mereka, kemampuan awal dan pra syarat.
• Tujuan Pembelajaran (umum dan khusus )
Adalah penjabaran kompetensi yang akan dikuasai oleh pebelajar.
• Analisis Pembelajaran
Merupakan proses menganalisis topik atau materi yang akan dipelajari.
• Strategi Pembelajaran
Dapat dilakukan secara makro (dalam kurun satu tahun) atau mikro (dalam kurun satu kegiatan belajar mengajar).
• Bahan Ajar
Adalah format materi yang akan diberikan kepada pebelajar
• Penilaian Belajar
Tentang pengukuran kemampuan atau kompetensi ang sudah dikuasai atau belum.
Pendidikan berbasis kompetensi mengacu pada upaya penyiapan individu agar mampu melakukan perangkat kompetensi yang ditentukan. Program pendidikan berbasis kompetensi mengandung empat unsur pokok, yakni:
1. Pemilihan kompetensi yang sesuai
2. Spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi
3. Pengembangan sistem pengajaran
4. Penilaian
Kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mengembangkan semua kompetensi yang dimiliki oleh peserta didik. Oleh karena itu kegiatan pembelajaran harus:
1. Berpusat pada peserta didik
2. Mengembangkan kreativitas peserta didik
3. Menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang
4. Bermuatan nilai, etika, estetika, logika dan kinestika
5. Menyediakan pengalaman belajar yang beragam (Puskur, 2004:13)
Stanley Elam dalam Oemar Hamalik (2002:92) mengemukakan langkah-langkah pengembangan pembelajaran sebagai berikut:
1. Spesifikasi asumsi-asumsi atau preposisi-preposisi yang mendasar
Dewasa ini banyak digunakan teori konstruktivisme yang inti ajarannya adalah keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran.
2. Mengidentifikasi kompetensi
Untuk dapat mengidentifikasikan kompetensi dapat digunakan beberapa model pendekatan, antara lain:
• Pendekatan analisis tugas (task analysis)
Untuk menentukan jenis kompetensi.
• Pendekatan the needs of school learners (memusatkan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan siswa di sekolah)
Pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa terdapat hubungan yang erat antara persiapan guru dengan apa yang diinginkan oleh siswa.
• Pendekatan berdasarkan asumsi kebutuhan masyarakat
Pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan tentang masyarakat yang anyata dan penting dapat diterjemahkan menjadi program sekolah para siswa yang pada gilirannya dituang ke dalam program pembelajaran.

Selain ketiga pendekatan di atas, Ashan (1981:57) dalam Mulyasa (2004:8) mengemukakan bahwa analisis kompetensi dapat dilakukan melalui proses:
• Analisis tugas
Dimaksudkan untuk mendeskripsikan tugas-tugas yang harus dilakukan ke dalam indikator-indikator kompetensi.
• Pola analisis
Dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan baru yang belum ada.
• Research
Research (peneletian) dimaksudkan untuk mengembangkan sejumlah kompetensi berdasarkan hasil-hasil penelitian dan diskusi.
• Expert judgement
Expert judgement atau pertimbangan ahli dimaksudkan untuk menganalisis kompetensi berdasarkan pertimbangan para ahli.
• Individual group interview data
Analisis kompetensi berdasarkan wawancara, baik secara individu maupun kelompok dimaksudkan untuk menentukan informasi tentang kegiatan, tugas-tugas , dan pekerjaan yang diketahui oleh seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk lisan.
• Role play
Role play dimaksudkan untuk melakukan analisis kompetensi berdasarkan pengamatan dan penilaian terhadap sejumlah orang yang melakukan peran tertentu.
3. Menggambarkan secara spesifik kompetensi-kompetensi
Kompetensi-kompetensi yang telah ditentukan lebih diperkhusus dan dirumuskan menjadi eksplisit dan dapat diamati. Selain itu dipertimbangkan masalah-masalah yang menyertainya, antara lain target populasi dalam konteks pelaksanaannya, hambatan-hambatan program, waktu pelaksanaan dan parameter sumber.


4. Menentukan tingkat-tingkat kriteria dan jenis assessment
Menentukan jenis-jenis penilaian yang akan digunakan dimaksudkan untuk mengukur ketercapain kompetensi. Kompleksnya kompetensi yang ada menuntut guru untuk menyediakan berbagai alternatif penilaian,
5. Pengelompokan dan penyusunan tujuan pengajaran
Landasan dalam rangka penyususnan tujuan pengajaran yaitu:
• Struktur isi yang dimuat dari pengertian-pengertian sederhana sampai dengan prinsip-prinsip yang kompleks.
• Lokasi dan fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan bermacam-macam kegiatan.
6. Desain strategi pembelajaran
Program intruksional disusun bertalian dengan kompetensi yang telah dirumuskan dan secara logis dikembangkan setelah kompetensi ditentukan. Modul instruksional adalah seperangkat pengalaman dengan maksud memberikan fasilitas kepada para siswa untuk mengembangkan kompetensi. Pada umumnya format modul terdiri dari lima bagian utama, yaitu:
• Prospektus, memuat pernyataan yang jelas tentang rasional asumsi-asumsi pokok yang menjadi landasan, hubungan antara modul satu dengan modul lainnya dan dengan keseluruhan program.
• Tujuan atau seperangkat tujuan yang harus dirumuskan dengan jelas dan tidak membingungkan.
• Pre Assessement yang meliputi assessment diagnostik terhadap sub kompetensi atau tujuan-tujuan modul.
• Kegiatan-kegiatan yang merupakan alternatif instruksional untuk mencapai kompetensi, alternatif yang dapat dipilih oleh siswa berdasarkan asumsi bahwa para siswa bersikap accountable terhadap kompetensi, bukan semata-mata ikut berpartisipasi.
• Post assessment, untuk mengetahui keberhasilan modul.
7. Mengorganisasikan sistem pengelolaan
Pembelajaran berbasis kompetensi lebih mengutamakan suasana real (field setting). Suasana belajar yang diciptakan oleh guru harus melibatkan siswa secara aktif, mengalami, bertanya dan mempertanyakan, menjelaskan, dan sebagainya. Menghargai usaha siswa walaupun hasilnya belum memuaskan dan menantang siswa menjadi pelajar seumur hidup. Oleh karena itu sangat diperlukan praktek pengelolaan dan sistem pengelolaan yang didesain secra cermat.
8. Melaksanakan percobaan program
Percobaan program bertujuan untuk mengetes efektifitas strategi instruksional, seberapa besar diperlukan tuntutan-tuntutan program, ketepatan alat atau jenis penilaian yang digunakan, dan efektifitas sistem pengelolaan.
9. Menilai desain pembelajaran
Pelaksanaan terhadap sebuah desain instruksional lazimnya mencakup empat spek, yaitu:
• Validasi tujuan dalam hubungan dengan peranan pendidikan yang diproyeksikan.
• Tingkat-tingkat kriteria dan bentuk-bentuk assessment.
• Sistem instruksional dalam hubungannya dengan hasil belajar.
• Pelaksanaan organisasi dan pengelolaan alm hubungan dengan hasil tujuan.
10. Memperbaiki program
Setiap program tidak akan pernah tersusun secara sempurna. Pengalaman-pengalaman yang didapat akan selalu menjadi umpan balik untuk melakukan perbaikan.

SIKAP MENTAL WIRAUSAHA

SIKAP MENTAL WIRAUSAHA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester Lima
Mata Kuliah Kewirausahaan
Dosen Pengampu: Laili F, S.S, M.M












Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020



PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009

SIKAP MENTAL WIRAUSAHA

A. Wirausaha dan Perekonomian Indonesia
Dalam tata perekonomian di Indonesia terdapat tiga unsur penting yaitu sektor negara, sektor swasta, dan koperasi. Sektor swasta merupakan unsur penting dalam perekonomian di Indonesia, karena itu kewirausahaan/kewiraswastaan mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasonal di bidang perekonomian.

B. Kondisi Wirausaha/Wiraswasta
Setelah proklamasi kemerdekaan, kondisi sosial ekonomi di Indonesia sangatlah tidak stabil. DR. Suparman Sumahamidjoyo menyatakan bahwa kelemahan dan keterbatasan yang melekat pada bangsa Indonesia akibat polotik penjajahan menyangkut kelemeahan sikap mental. Kelemahan sikap mental adalah sikap mental negatif yaitu sikap mental dan tingkah laku yang bersumber pada sikap berpikir negatif.
Prof. Koentjoroningrat dalam Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan menyatakan kelemahan mental bangsa Indonesia yaitu:
• Sifat mentalitet yang meremehkan waktu
• Sifat mentalitet yang suka menerobos
• Sifat tidak percaya pada diri sendiri
• Sifat tidak berdisiplin murni
• Sifat mentalitet yang suka megorbankan tanggung jawab yang kokoh
Melihat keterbatasan dan kelemahan yang ada, maka bantuan pemerintah untuk mendorong tumbuh dan kegairahan usaha swasta kecil maupun sedang sangat diperlukan. Namun perlu disadari bahwa kunci keberhasilan terletak pada dirinya sendiri, ialah terletak pada sikap mental dan kepribadiannya.


C. Sikap Mental dan Kepribadian Wiraswasta adalah Modal Dasar Wirausaha
Sikap mental dan kepribadian merupakan unsur penting sebagai dasar dan titik tolak mencapai hasil dalam perjuangan hidup. Pembinaan mental dan kepribadian ini dapat dikatakan lebih menitikberatkan membedah pada “tenaga dalam”, seperti kejujuran, ketekunan, keuletan, kemauan, tangggung jawab, percaya diri, rajin berdaya upaya, tidak lekas putus asa, pemikiran diri sendiri, tidak mengharap belas kasihan, lebih banyak berpikir dan berbuat kreatif, dan sebagainya.
Kepribadian adalah keseluruhan dari sifat-sifat jasmani, pikiran, jiwa dan watak seseorang sehinggga membedakan seseorang dari orang lain, baik dalam individualitas maupun budi pekertinya. Suatu kepribadian paling baik adalah milik paling penting, merupakan suatu kekuatan yang dapat menciptakan sesuatu menakjubkan. Kepribadian memiliki nilai paling tinggi dibanding miliknya untuk mencapai suatu keberhasilan.
Sebagaimana hasil penelitian Charles Screibe menyatakan bahwa keberhasilan kegiatan seorang usahawan ditentukan oleh: pendidikan formal (15 %) dan nilai-nilai sikap mental dan kepribadian seseorang (85 %). DR. Suparman Sumahamijayabmenyatakan keberhasilan ditentukan oleh kesediaan berjerih payah(25 %), pendidikan sekolah formil (15 %) serta pengembangan kepribadian (60%).

D. Menyikapi Hambatan
Mewujudkan suatu usaha berwiraswasta tentu saja akan menghadapi banyak hambatan seperti adanya resiko, keterbatasan modal, hambatan mental kepribadian dan lain sebagainya.
Adanya resiko merupakan hambatan
Resiko dapat dikatakan layaknya bagai kabut gelap. Resiko perlu didekati, dikenal dan dimengerti agar menjadi terang untuk dapat diperhitungkan dan ditundukkan. Dengan memperkokoh organisasi dan efisiensi, dengan mengerjakan sesuatu memecahkan hambatan itu. Menundukkan resiko perlu kewaspadaan mental. Tanpa keberanian berbuat untuk memecahkannya akan menelorkan keputusan yang menghasilkan kemiskinan, lepasnya tujuan keberhasilan.

E. Proses Pembentukan Modal
Proses pembentukan modal yang pertama yaitu tekad dan kemauan untuk mengembangkan diri. Kita menyadari pada diri kita mempunyai berbagai bentuk sumber kekuatan sebagai kekuatan pengetahuan, sikap mental, keakhilan, keterampilan, pengalaman, dan kemampuan membuat hubungan perkenalan. Namun itu barulah kekuatan potensial belum kekuatan nyata, tetapi semua itu benar adalah mengandung nilai sebagai modal karena akan membuka dan mengundang datangnya modal uang. Hal ini akan berujud dengan dikombinasikan dengan kekuatan mental kesediaannya berupaya dan mendirikan usaha. Orang-orang demikianlah yang dapat dipercaya dan mebawa keberhasilan dalam mengelola suatu kegiatan usaha.
Modal
Sebagaimana Dr. Suparman Sumahamijaya mengupasnya, maka yang dimasukkan dalam kategori adalah sebagai berikut:
1. Kemerdekaan
Karena kemerdekaan ini menyediakan kesempatan.
2. Kesempatan
Sebuah kesempatan jika digarap dengan baik akan menjadi sebuah sumber penghasilan dengan ditopang melalui bentuk modal.
3. Diri sendiri
Di dalam diri sendiri itu terdapat instrumen berpikir, dengan sikap mental wirausaha/wiraswasta untuk berwiraswasta.
4. Waktu
Waktu adalah modal, gunakan sebaik-baiknya untuk membangun masa depannya dengan bekerja, belajar, menyelidiki sesuatu untuk kemudian diketahui, diterjuni dan diolah.

5. Belajar
Belajar adalah modal, belajarpun banyak caranya. Dapat dinyatakan dengan belajar sendiri, merantau, mencari pengalaman, dan sekolah.
Modal bukanlah uang
Sikap berpikir itulah modal, modal yang dapat menggali uang. Uang adalah alat pembantu perluasan kesempatan usaha, jadi bukan modal mendirikan usaha.

F. Kewaspadaan Mental Wiraswasta/Wirausaha
Untuk mengkap peluang dan kesempatan baik diperlukan kewaspadaan mental. Agar kewaspadaan mental menjadi tajam dan tinggi perlu dilatih dan dikembangkan kemampuan-kemampuan mental itu.
Kemampuan mental ialah kemampuan memakai pikiran dan perasaan ujudnya adalah:
• Penyerapan: Kemampuan berpikir dan merasakan sesuatu secara mendalam, melihat pikiran secara batin dengna penuh perhatian.
• Penyimpanan: Kemampuan menyimpan dan menanam pikiran dan perasaan di dalam ingatan. Ini sewaktu-waktu dapat dikeluarkan kembali.
• Pemakaian pikiran: Kemampuan mengupas, membahas, dan menilai suatu persoalan.
• Daya cipta: Kemampuan melihat di dalam pikiran, supaya bisa tahu sebelum dan selanjutnya kemampuan melahirkan atau mewujudkan ide baru atau gagasan-gagasan kreativitas.

G. Bekerjasama dengan Orang lain
Diri sendiri, tenaga, kekuatan, dan waktu adalah modal pokok untuk melakukan pekerjaan dan ini adalah terbatas; kenyataan menunjukkan banyak jenis pekerjaan dan bagian pekerjaan yang harus dikerjakan orang lain.

Agar bekerjasama menjadi kokoh kuat, memerlukan beberapa hal anatara lain:
• Toleransi
• Disiplin
• Solidaritas
• Kerukunan
• Tekad bersama untuk membangun dan mengembangkan usaha
• Dan lain sebagainya

CERPEN

SKETSA:

Kematian Rara, sang kekasih tercinta telah membuat Nino tak berdaya untuk menjalani hari-harinya. Kini dia tak bisa lagi melihat indahnya pegunungan bersama kekasihnya itu. Nino merasa sangat bersalah atas kematian Rara. Dia hanya bisa mengenang semua yang telah mereka lalui bersama, semua kenangan indah itu.


CERPEN:

Rara kekasihku Tercinta

Nino Suryo Nugroho, ya itulah nama pemuda itu. Teman-temannya biasa memanggilnya Nino. Perawakannya cukup tinggi, sekitar 170 centi meter dengan tubuh yang tidak terlalu gemuk namun berisi. Parasnya tidak begitu tampan, kulitnya juga tidak terlalu putih namun terlihat bersih. Pakaiannya selalu rapi, mungkin itulah yang membuat penampilannya terlihat menarik. Dia adalah seorang mahasiswa yang cukup berprestasi di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Berasal dari kalangan yang kurang mampu tidak membuatnya patah semangat.
Diremehkan, hal itu sudah biasa dialami olehnya. Bahkan tidak jarang dia diolok-olok oleh teman-temannya yang berasal dari golongan yang bisa dibilang tajir. Namun Nino selalu optimis dan yakin bahwa dia mampu melakukan segala sesuatu yang bisa dilakukan orang lain. Kalau orang lain saja bisa melakukannya mengapa saya tidak, begitulah prinsip hidupnya. Hinaan demi hinaan yang dia terima justru memacunya untuk lebih giat berusaha. Terbukti segala usaha kerasnya tidak sia-sia karena kini dia telah menggarap skripsi untuk tugas akhirnya.
Nino dikenal sopan dan mudah bergaul. Dia juga aktif di banyak organisasi di kampusnya. Sudah barang tentu banyak mahasiswa yang mengenal sosok pemuda yang satu ini. Kerendahan hatinya membuatnya disenangi oleh teman-temannya.
Akhir-akhir ini Nino selalu menyendiri dan tampak tak bersemangat lagi. Kematian Rara --sang kekasih tercinta-- telah merubahnya menjadi sosok yang pendiam dan tak lagi bergaul dengan teman-temannya. Peristiwa naas yang merenggut belahan jiwanya itu terjadi seminggu yang lalu. Bersama dengan teman-temannya hari minggu itu Nino mengajak Rara mendaki gunung Sindoro. Mereka berdua memiliki hobi yang sama, senang menikmati keindahan alam apalagi pegunungan. Dari kesenangan itu jugalah awal mula mereka berkenalan. Perkenalan mereka bisa dibilang terjadi secara tidak disengaja. Saat itu cuaca di gunung lawu cukup buruk disertai dengan kabut tebal. Nino dan teman-temannya menghentian pendakian saat mereka sampai di pos tiga. Mereka memutuskan untuk beristirahat sambil menunggu cuaca membaik.
Baru sekitar lima menit mereka beristirahat terdengar teriakan minta tolong dari sekelompok pendaki yang sepertinya berasal dari tempat yang tidak jauh dari tempat Nino dan teman-temannya beristirahat. Spontan Nino dan teman-temannya mencari sumber suara tersebut. Benar saja baru berjalan sekitar seratus meter Nino dan teman-temannya sudah menemukan asal muasal suara tersebut. “Ada apa, mengapa kalian berteriak minta tolong?” Nino bertanya kepada kelompok pendaki yang baru saja mereka temukan itu. Namun sebelum ada seorangpun yang menjawab pertanyaan yang dilontarkannya, Nino telah mendapatkan jawaban dari pertanyaannta tadi. Dia melihat ada seorang gadis yang mengalami hipotermia.
Nino segera mengeluarkan minyak tawon yang berada di saku celananya dan mengoleskannya di bagian leher, tangan serta kaki gadis itu. Nino juga melepas jaket parasit yang ia kenakan dan memakaikannya ke tubuh gadis malang itu. Sepuluh menit kemudian terlihat keadaannya mulai membaik. Beruntung Nino dan teman-temannya segera menolong gadis itu sebelum dia mengalami hipotermia akut sehingga nyawanya masih dapat terselamatkan.
“Terima kasih banyak, kalian telah menyelamatkan nyawaku”, ucapan terima kasih itu tak henti-hentinya keluar dari bibir gadis itu untuk Nino dan teman-temannya.. Teman-teman Rara pun melakukan hal yang sama.”Terima ksih banyak, kalian telah menyelamatkan teman kami”, begitu ucap mereka serempak. Mereka merasa berhutang budi kepada Nino dan teman-temannya karena mereka telah menyelamatkan nyawa Rara. “Sama-sama, sudah kewajiban kita untuk saling membantu sesama selagi kita mampu”, begitu jawab Nino.
“O ya kalau boleh saya tahu, siapa nama kamu?”, Tanya Nino kepada gadis itu. Sambil mengulurkan tangannya kepada Nino gadis itu menjawab, “Saya Rara”. “Saya Nino”, balas Nino sambil berjabat tangan dengan Rara. Dari situlah Nino dan Rara berkenalan dan akhirnya mereka berdua menjadi sepasang kekasih.
Rara adalah seorang gadis yang dewasa dan sederhana. Meskipun ia berasal dari keluarga yang cukup berada, ia tidak pernah menampakkan kekayaan kedua orang tuanya itu. Dia sama sekali tidak pernah menyentuh kehidupan malam atau yang biasa disebut dugem itu. Kesederhanaan yang ia miliki inilah yang telah mencuri hati Nino.
Tapi siapa yang menyangka jika kebahagiaan sepasang kekasih itu kini tak lagi dapat mereka rasakan. Kecelakaan maut hari minggu itu telah merenggut Rara dari Nino. Mobil mereka bertabrakan dengan bus yang berasal dari arah yang berlawanan. Supir bus mengantuk dan malangnya menghantam mobil yang dikendarai oleh Nino dan teman-temannya. Rara dan satu orang teman Nino meninggal di tempat tanpa sempat dibawa ke rumah sakit. Saat itu Nino tak sadarkan diri, jidadnya terluka dan mengalami pendarahan hebat. Beruntung Nino segera dibawa ke rumah sakit sehingga nyawanya masih dapat terselamatkan.
Sesaat setelah Nino sadarkan diri, ia langsung menanyakan di mana Rara. Keluarganya tidak mampu berkata yang sebenarnya kepada Nino, mereka berbohong pada Nino dan mengatakan bahwa Rara sedang dirawat di kamar lain. Keluarganya khawatir Nino tidak sanggup menerima kenyataan pahit bahwa Rara telah meninggalkan mereka semua untuk selamanya. Oleh karena itu mereka menunggu saat yang tepat untuk mengatakan hal tersebut kepada Nino.
Tiga hari dirawat, keadaan Nino semakin membaik. Keinginan Nino untuk menemui Rara pun tidak bisa dicegah lagi. Akhirnya keluarganya mengatakan hal yang sebenarnya kepada Nino bahwa Rara telah meninggal dunia. Kabar itu tentu saja terasa bagaikan petir di siang bolong. Nino tak kuasa mendengarnya dan akhirnya ia jatuh tersungkur ke lantai dan tak sadarkan diri.
Hari-hari berikutnya hanya berisi penyesalan dan ketidakrelaan. Nino merasa sangat bersalah pada dirinya sendiri. Jika saja dia tidak mengajak Rara minggu itu tentu saat ini dia masih bisa melihat senyum ceria kekasihnya. Jika saja dia bisa menghindari bus itu tentu saat ini dia masih bisa memeluk Rara. Jika saja, jika saja, dan jika saja, hanya itu yang ada di benak Nino.
Manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhanlah yang menentukan segalanya. Keinginan Nino dan Rara untuk menikmati pemandangan gunung Sindoro hanya tinggal kenangan. Hari-hari Nino kini hanya diisi oleh kenangan-kenangan indahnya bersama Rara, entah sampai kapan dia akan terus murung dan menyalahkan dirinya atas kematian kekasihnya itu.


















CERPEN BERJUDUL “RARA KEKASIHKU TERCINTA”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Empat
Mata Kuliah Menulis Kreatif
Dosen Pengampu: Drs. Suyitno. M. Pd















Disusun Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020




PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009

HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN DIKSI DAN GAYA BAHASA DENGAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KLEGO

PROPOSAL
HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN DIKSI DAN GAYA BAHASA DENGAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KLEGO
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester Empat
Mata Kuliah Penelitian Kuantitatif
Dosen Pengampu: Dr. Budi Setiawan








Disusun Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menulis adalah suatu bentuk komunikasi yang proses pemikirannya dimulai dengan memikirkan gagasan yang akan disampaikan kepada pembaca. Menulis merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan siswa di sekolah karena semua pelajaran pasti memanfaatkan kegiatan menulis sebagai sarana transfer informasi. Oleh karenanya, menulis merupakan salah satu alat penting dalam proses belajar mengajar termasuk dalam bidang studi Bahasa Indonesia.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Tarigan (1984: 4) yang mengemukakan bahwa peranan menulis dalam dunia pendidikan yaitu (1) memudahkan siswa berpikir kritis; (2) memudahkan siswa dalam merasakan dan menikmati hubungan-hubungan; (3) memperdalam daya tangkap atau persepsi siswa; dan (4) menjelaskan pikiran-pikiran, ide atau gagasan.
Dari pendapat Tarigan tersebut kita ketahui bahwa kemampuan menulis bagi siswa merupakan hal yang penting, namun pengajaran menulis di sekolah sering kali tidak seimbang dengan pengajaran berbahasa sehingga kemampuan menulis siswa tidak maksimal. Pengajaran kemampuan berbahasa sering hanya ditekankan pada pengetahuan kebahasaan dan kurang dilatih sehingga hasil karangan siswa kurang baik terlihat dari banyak pilihan kata yang kurang tepat, kalimat kurang efektif, sukar mengemukakan gagasan, karena kesulitan membuat kalimat, kurang mampu mengembangkan ide secara teratur dan sistematis (Sabarti, 1990: 5).
Salah satu kajian menulis yang dipelajari dalam mata pelajaran bahasa Indonesia adalah menulis puisi. Untuk dapat menulis puisi dengan baik maka diperlukan penguasaan diksi dan gaya bahasa secara baik pula. Hal ini disebabkan karena menulis puisi berbeda dengan keterampilan menulis yang lainnya yang tidak begitu mementingkan gaya bahasa. Dalam menulis puisi, gaya bahasa dan pemilihan kata yang tepat justru menjadi hal yang sangat penting.
Bertolak dari faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan menulis puisi di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji ada tidaknya hubungan antara penguasaan diksi dan gaya bahasa dalam kaitannya dengan menulis puisi pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Klego.
B. Identifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut, penulis mengidentifikasikan adanya beberapa masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Masih terbatasnya penguasaan diksi siswa dalam menulis puisi.
2. Masih terbatasnya penguasaan gaya bahasa siswa dalam menulis puisi.
3. Banyak siswa yang kesulitan ketika ditugasi untuk menulis puisi.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang ada, agar permasalahan dapat dikaji secara mendalam, peneliti membatasi penelitian hanya pada aspek-aspek berikut ini:
1. Hubungan antara penguasaan diksi dan kemampuan menulis puisi.
2. Hubungan antara penguasaan gaya bahasa dan kemampuan menulis puisi.
3. Hubungan antara penguasaan diksi dan gaya bahasa secara bersama-sama dengan kemampuan menulis puisi.

D. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan antara penguasaan diksi dan kemampuan menulis puisi?
2. Apakah terdapat hubungan antara penguasaan gaya bahasa dan kemampuan menulis puisi?
3. Apakah terdapat hubungan antara penguasaan diksi dan gaya bahasa secara bersama-sama dengan kemampuan menulis puisi?







E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. terdapat tidaknya hubungan antara penguasaan diksi dan kemampuan menulis puisi;
2. terdapat tidaknya hubungan antara penguasaan gaya bahasa dan kemampuan menulis puisi;
3. terdapat tidaknya hubungan secara bersama-sama antara penguasaan diksi dan gaya bahasa dengan kemampuan menulis puisi.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini dapat memperkaya khasanah keilmuan dalam hubungan antara penguasaan diksi dan gaya bahasa dengan kemampuan menulis puisi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa, untuk menambah wawasan dan pengetahuan siswa mengenai diksi, gaya bahasa, dan menulis puisi sehingga dapat berfungsi sebagai sarana untuk pemacu dalam memperbaiki diri.
b. Bagi Guru, untuk memperluas dan memperdalam pemahamannya sehingga dia dapat memberikan metode pengajaran menulis puisi yang tepat dengan menggunakan hasil penelitian ini sebagai salah satu rujukan.










KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

1. Hakikat Diksi
a. Pengertian Diksi
Diksi biasa juga disebut pilihan kata. Keraf (2000: 23) mendefinisikan pengertian pilihan kata atau diksi ini dalam tiga pengertian, yaitu (1) pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagaasan, bagaimana membentuk pengelompookan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam satu situasi; (2) pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar; (3) pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diksi diartikan pilihan kata yang tepat dan selaras (dulu pengggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).
Kata merupakan alat penyalur gagasan, hal ini memiliki pengertian bahwa semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya. Mereka yang menguasai banyak gagasan atau dengan kata lain mereka yang luas kosa katanya dapat dengan mudah dan lancar mengadakan komunikasi dengan orang lain baik secara lisan maupun tulis.

b. Ketepatan Pilihan Kata
Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan penulis atau pembaca (Keraf: 2000: 87). Untuk mencapai ketepatan pilihan kata, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:
1). Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi
Dari dua kata yang mempunyai makna yang mirip satu sama lain harus ditetapkan kata mana yang akan dipergunakan untuk mencapai maksud yang diinginkan.
2). Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim
Penulis harus berhati-hati memilih kata dari sekian sinonim yang ada agar tidak timbul interpretasi yang berlainan.
3). Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya
4). Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri
5). Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang menggunakan akhiran asing tersebut
6). Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatis
7). Untuk menjamin ketepastan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus.
Kata khusus lebih tepat menggambarkan sesuatu daripada kata umum
8). Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus
9). Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal
10). Memperhatikan kelangsungan pilihan

c. Kesesuaian Pilihan Kata
Kesesuaian pilihan kata mempersoalkan apakah pilihan kata yang digunakan tidak merusak suasana atau menyinggung perasaan orang yang hadir. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kata-kata yang digunakan tidak akan mengganggu suasana, dan tidak akan menimbulkan ketegangan antara penulis dengan pembicara dengan para hadirin atau para pembaca, antara lain:
1). Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur-unsur substandar dalam suatu situasi yang formal.
Bahasa standar adalah semacam dialek kelas dan dapat dibatasi sebagai tutur dari mereka yang mengenyam kehidupan ekonomis atau menduduki status sosial yang cukup dalam suatu masyarakat (Keraf: 2000: 104).
2). Gunakan kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja.
Dalam situsi yang umum lebih baik dipergunakan kata-kata populer.
3). Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum
Jargon merupakan bahasa yang khusus sekali, maka tidak akan banyak artinya bila dipakai untuk suatu sasaran yang umum. Oleh karena itu dihindari sejauh mengkin unsur jargon dalam sebuah tulisan umum (keraf: 2000: 107).
4). Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-kata asing.
5). Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan
Kata percakapan adalah kata-kata yang biasa dipakai dalam percakapan atau pergaulan orang-orang yang terdidik (Keraf: 2000: 107).
6). Hindarilah ungkapan-ungkapan unsur (idiom yang mati)
Yang disebut idiom adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata yangt membentuknya (Keraf: 2000: 109).
7). Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial
Yang dimaksud bahasa artifisial adalah bahasa yang disusun secara seni (Keraf: 20000:110). Bahasa yang artifisial tidak terkandung dalam kata yang digunakan, tetapi dalam pemakaiannya untuk menyatakan suatu maksud.

2. Hakikat Gaya Bahasa
a. Pengertian Gaya Bahasa
Keraf (2000: 113) mendefinisikan pengertian gaya bahasa seagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa yang khas dengan memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Maulana (dalam http://firman94.multiply.com) mendefinisikan gaya bahasa adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Kekhasan dari gaya bahasa ini terletak pada pemilihan kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan makna yang sebenarnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia gaya bahasa diartikan (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri ahasa sekelompok penulis sastra; (4) cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis dan lisan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara dalam pengungkapan gagasan pengarang yang digunakan dengan media bahasa agar menimbulkan keindahan yang akan menunjukkan sikap dan kepribadian pengarang.

b. Ragam Gaya Bahasa
Keraf (2000:116) membagi gaya bahasa menjadi empat, yaitu (1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata; (2) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana; (3) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat; (4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.
1). Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata
Gaya bahasa ini membahas ketepatan dan kesesuaian dalam situasi-situasi tertentu. Kata yang paling tepat untuk posisi dalam kalimat dan tepat tidaknya pemakaian kata tersebut dari lapisan pemakai bahasa dalam masyarakat. Gaya bahasa ini meliputi gaya bahasa resmi, tidak resmi dan percakapan.
2). Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana
Gaya bahsa ini didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Gaya bahasa ini meliputi gaya sederhana, mulia dan bertenaga, serta menengah.
3). Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat
Struktur kalimat bersifat periodik, kendur, dan berimbang. Periodik apabila bagian yang terpenting mendapatkan penekanan di akhir kalimat. Kendur apabila penekanan dilakukan di awal kalimat. Berimbang apabila dua bagian kalimat atau lebih memiliki kedudukan sederajat. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dibagi atas klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi.
4). Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna
Gaya bahasa ini sering disebut “trope” yang berarti penyimpangan. Gaya berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna yaitu acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotasi atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa ini dibagi menjadi dua yaitu gaya retoris dan gaya kiasan.

3. Hakikat Menulis Puisi
a. Hakikat Menulis
Menulis merupakan salah satu aspek kemampuan berbahasa selain menyimak, berbicara, dan membaca yang perlu dikuasai oleh siswa. Menulis merupakan kemampuan berbahasa yang berfungsi untuk menyampaikan infiormasi secara tertulis. Dalam menulis dituntut lebih banyak persyaratan dan dianggap lebih sulit daripada kemampuan berbahasa yang lain, misalnya kemampuan berbicara.
Ada berbagai macam pengertian menulis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menulis adalah (1) membuat huruf dengan pena (pensil, kapur); (2) melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang atau membuat surat) dengan tulisan; (3) menggambar; (4) melukis; (5) membatik. Menulis merupakan kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan, menyampaikannya melalui bahasa tulis.
Semi (1990:8) menyatakan menulis atau mengarang merupakan pemindahan pikiran atau perasaan dalam bentuk lambang-lambang bahasa. Lambang-lambang bahasa ini berbentuk tulisan yang berisi pesan atau gagasan penulis agar bisa dipahami pembaca.
Tarigan (1993: 21) menyatakan menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang-orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik tersebut.
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa menulis merupakan kegiatan mengungkapkan ide, gagasan, pikiran atau perasaan menggunakan bahasa tulis.
Azzaini (dalam http://jamil.niriah.com/) mengemukakan tujuh manfaat menulis, yaitu:
1. Mengurangi stres
Menurut James W Pennebaker, Ph.D., Professor of Psychology dari University of Texas dan penulis buku “Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions“, kondisi mental orang-orang yang terbiasa mengekspresikan emosi atau unek-unek dengan menulis, lebih stabil dibandingkan orang-orang yang tidak biasa menulis.
2. Membantu menemukan jalan hidup
Harvard Business School pernah melakukan penelitian tentang hubungan antara memiliki cita-cita & menuangkannya dalam bentuk tulisan, dengan pencapaian cita-cita tersebut. Hasilnya, sebagian besar responden (84%), ternyata tidak punya cita-cita. 13% punya cita-cita tapi tidak menuliskannya. Dan hanya segelintir orang, yaitu 3%, yang punya cita-cita dan menuliskannya.
3. Menjaga semangat dan komitmen
Setiap tulisan yang kita buat akan mengingatkan kita pada komitmen-komitmen yang telah kita buat, dan itu adalah obat yang sangat baik untuk membangkitkan semangat yang kerap kali pudar di tengah jalan.
4. Mencari dan memperkaya inspirasi
Menulis tentang sesuatu akan mendorong kita untuk mencari hal-hal yang akan memperkuat materi penulisan, googling/searching akan segera menjadi kata yang akrab bagi orang yang hobi menulis, atau minta pendapat dari orang lain yang lebih ahli.
5. Mendatangkan passive income
Tulisan yang baik sangat bisa dijadikan buku, dan diterbitkan, dan dijual. Sebut sajalah berjudul-judul buku yang diambil dari buku harian atau kumpulan posting di blog, atau dari kumpulan kertas tissue yang digunakan JK Rowling waktu menulis naskah cerita di cafe-cafe. Tak heran kalau Andrea Hirata mendapat royalti lewat Rp1M dari Laskar Pelanginya.
6. Meningkatkan kreativitas
Menulis yang rutin dan sinambung, lama-kelamaan akan mendorong kita untuk terus menggali lebih dalam bagaimana cara menulis yang baik, penyampaian yang sistematis, dan gaya penulisan yang menarik.
7. Menyimpan memori
Rasanya ini adalah salah satu “tujuan utama” sebagian orang menulis, baik itu buku harian ataupun blog harian. Terlalu banyak kisah hidup dan aktivitas keseharian yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja, tanpa dibungkus dalam album yang setiap saat bisa dibuka-buka kembali.

b. Pengertian Puisi
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Pengertian puisi sampai saat ini masih sulit untuk didefinisikan. Kata ”puisi” berasal dari bahasa Yunani poiesis yang berarti ”penciptaan”. Dalam bahasa Inggris padanan kata ”puisi” adalah poetry yang erat hubungannya dengan kata poet dan poem. Coulter dalam Tarigan (1984:4) menjelaskan kata poet berasal dari kata Yunani yang berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa.
Menurut Soedarmo dalam Pradopo (1997) puisi adalah karangan yang terikat oleh banyak baris dalam tiap bait, banyak kata dalam tiap baris, banyak suku kata dalam tiap baris, rima, dan irama. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
Menurut Abercrombie dalam Tarigan (1984:7) puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang dan bermanfaat (poetry is the ekspression of imaginative experience valued simply as such and significant as such, in the cominicable state given by language which employs every avaiable and appropriate device).
Pendapat lain tentang puisi dikemukakan oleh Johnson dalam Waluyo (1987:23), menurutnya puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan yang penuh daya yang berpangkal pada emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian.
Dengan demikian, puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair yang diwujudkan dalam susunan kata-kata yang memiliki makna dan amanat yang ingin disampaikan kepada para pembacanya.
c. Unsur-unsur Puisi
Waluyo dalam bukunya yang berjudul Teori Dan Apresiasi Puisi (1987:4) menyatakan pada pokoknya puisi dibangun oleh dua unsur pokok, yakni struktur fisik dan struktur batin atau struktur makna. Struktur fisik puisi disebut juga metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar puisi. Unsur-unsur tersebut yaitu diksi, pengimajinasian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versivikasi, dan tata wajah puisi. Unsur-unsur ini dapat ditelaah satu per satu, tetapi unsur-unsur ini merupakan satu kesatuan yang utuh. Sedangkan struktur batin atau struktur makna mengungkapkan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya.
Richard dalam Tarigan (1993:9) menyatakan bahwa suatu puisi mengandung suatu makna keseluruhan yang merupakan perpaduan dari tema penyair (yaitu mengenai inti pokok puisi itu), perasaan (yaitu sikap sang penyair terhadap bahan atau objeknya), nada (yaitu sikap sang penyair terhadap pembaca atau penikmatnya), dan amanat (yaitu maksud atau tujuan sang penyair).
Hartoko dalam Waluyo (1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, sedangkan unsur sintaksis menunjuk pada strukur fisik puisi.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa puisi terdiri dari unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur tesebut meliputi tema, nada, rasa, amanat, diksi, imaji, bahasa figuratif, kata konkret, ritme dan rima. Unsur-unsur tersebut saling terikat dan merupakan satu kesatuan yang utuh.



B. Kerangka Berpikir
Salah satu kemampuan berbahasa yang penting untuk dikuasai siswa adalah kemampuan menulis. Dengan menulis, bebagai gagasan dan pengalaman siswa dapat dikomunikasikan ke semua pihak. Gagasan yang akan dikomunikasikan dalam bentuk puisi memerlukan banyak aspek kebahasaan, antara lain diksi dan gaya bahasa.
Dalam kegiatan menulis, diksi memiliki peranan penting. Baik tidaknya suatu tulisan saat dipengaruhi oleh diksi yang digunakan penulisnya. Siswa yang memiliki penguasaan diksi yang tinggi akan dapat membuat tulisan dengan baik dibandingkan siswa yang memiliki penguasaan diksinya rendah.
Berdasarkan gambaran di atas dapat dikatakan bahwa penguasaan diksi diduga memiliki hubungan yang positif dengan keterampilan menulis puisi.
Penguasaan gaya bahasa dalam kegiatan menulis puisi juga merupakan faktor yang penting karena dengan menguasai gaya bahasa dengan baik siswa akan dapat mengungkapkan ide atau gagasannya kepada orang lain dalam bentuk puisi secara baik pula.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa penguasaan gaya bahasa diduga juga memiliki hubungan yang positif dengan keterampilan menulis puisi. Penguasaan diksi dan gaya bahasa tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan menulis puisi karena keduanya saling melengkapi.
Berdasarkan uraian di atas dapat dapat disimpulkan bahwa penguasaan diksi dan gaya bahasa berpengaruh terhadap keterampilan menulis puisi siswa. Hubungan itu dapat digambarkan seperti bagan berikut:









C. Hipotesis
Berdasrkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan positif antara penguasaan diksi dan kemampuan menulis puisi.
2. Terdapat hubungan positif antara penguasaan gaya bahasa dan kemampuan menulis puisi.
3. Terdapat hubungan positif secara bersama-sama antara penguasaan diksi dan gaya bahasa dengan kemampuan menulis puisi.























METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Klego tahun ajaran 2009/2010. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni sampai bulan Agustus 2009. Adapun rincian waktu dan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 Rincian waktu dan jenis kegiatan penelitian
No Rincian waktu Juni Juli Agustus
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan judul dan pengajuan proposal x x
2 Konsultasi proposal x
3 Perizinan x
4 Pengambilan data x x x x
5 Pengolahan dan analisis data x x x x
6 Pembuatan laporan x x

B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan jenis penelitiannya adalah deskriptif korelasional yang berupaya untuk mengemukakan ada tidaknya hubungan antara penguasaan diksi dan gaya bahasa sebagai variabel bebas dengan kemampuan menulis puisi sebagai variabel terikat pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Klego.


C. Populasi, Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah sisiwa kelas VII SMP Negeri 1 Klego yang terdiri dari lima kelas.
2. Sampel dan Teknik Penarikan Sampel
Sampel dalam penelitian ini yaitu kelas VIIA sebanyak 40 siswa. Teknik yang digunakan dalam mengambil sampel adalam menggunakan teknik simple random sampling yaitu penarikan sampel secara acak.

D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini instrumen atau alat yang digunakan untuk memperoleh data adalah tes.
a. Tes objektif
Tes objektif ini digunakan untuk mendapatkan data tentang penguasaan diksi dan gaya bahasa pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Klego.
b. Tes esai
Tes esai digunakan untuk mendapatkan data tentang keterampilan menulis puisi siswa kelas VII SMP Negeri 1 Klego .

E. Validitas Instrumen
Suatu tes dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Dalam penelitian ini untuk mengukur validitas instrumen tes penguasaan diksi, gaya bahasa dan kemampuan menulis puisi siswa digunakan validitas internal, yakni mengukur keabsahan atau kevalidan dari butir-butir pertanyaan yang disediakan dalam butir pertanyaan yang secara statistik digunakan rumus korelasi Point Biserial dengan rumus:

Keterangan:
Xi: rata-rata skor total responden yang menjawab benar butir ke-i
Xt: rata-rata skor total semua responden
St: standar deviasi skor total
pi: proporsi jawaban benar untuk butir ke-i
qi: proporsi jawaban salah untuk butir ke-i
rpbi: koefisien korelasi point biserial

F. Reabilitas Instrumen
Suatu instrumen dikatakan reliabel atau memiliki taraf keajegkan tinggi jika instrumen tersebut dikerjakan oleh siswa yang sama dalam waktu yang berbeda hasilnya relatif tetap. Dalam peneletian ini untuk mengukur reliabilitas tes penguasaan diksi, gaya bahasa dan kemampuan menulis puisi siswa digunakan rumus Kuder Richardson-20 (KR-20). Rumus ytang dimaksud adalah sebagai berikut:

Keterangan:
r: koefisien reabilitas internal seluruh item
n: jumlah butir tes yang valid
p: proporsi jawaban yang benar
q: proporsi jawabab yang salah
St: standar deviasi skor total
St2: varians skor total

G. Hipotesis Statistik
Sebelum analisis data dilakukan perlu dirumuskan hipotesis statistik penelitian ini sebagai berikut:
1. Hipotesis Pertama
a. H𝟶: 𝜌y.1 = 𝟶
b. H1 : 𝜌y.1 > 0
2. Hipotesis Kedua
a. H0 : 𝜌y.2 = 0
b. H1 : : 𝜌y.2 > 0

3. Hipotesis Ketiga
a. H0 : 𝜌y.12 = 0
b. H1: : 𝜌y.1

H. Teknik Analisis Data
1. Menguji garis regresi
Untuk menguji persamaan garis regresi sederhana dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Persamaan y terhadap x1
Y = a + bx1
Persamaan y terhadap x2
Y = a + bx2
Sedangkan untuk menguji persamaan garis regresi ganda, adalah sebagai berikut:
Y = a + bx1 + cx2
2. Menghitung koefisien korelasi
Untuk menghitung koefisien korelasi sederhana ( Y terhadap x1 ataupun Y terhadap x2) menggunakan rumus korelasi produk moment yang rumusnya:
rxy =
Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi antara variable x dan y
x = Skor masing-masing
y = Skor total
N = Jumlah individu dalam sampel
Untuk menguji koefisien korelasi ganda ( Y atas x1 dan x2) menggunakan rumus sebagai berikut:



Sebelum menguji hipotesis lebih dulu dilakukan uji persyaratan analisis yang terdiri dari uji normalitas dengan menggunakan rumus Lilifors, uji linieritas, dan keberartian data dengan menggunakan teknik statistik anaya (anaya varians).

DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, Sabarti, dkk. 1990. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Airlangga

Atar Semi. 1990. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya
Firman Maulana. 2009. Gaya Bahasa (Majas). http://firman94.multiply.com. Diakses tangggal 22 Juni 2009 Jam 09:30
Herman J. Waluyo. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press
Jamil Azzaini. 2009. 7 Kedahsyatan Menulis Dalam http://jamil.niriah.com/ (Diakses Tanggal 10 Mei 2009)
Keraf, Goris. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Riduwan. 2004. Metode dan Teknik Menyusun Thesis. Bandung: Alfabeta
Rachmat Djoko Pradopo. 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
Yuli Purwanti. 2006. Skripsi. Penggunaan Gaya Bahasa dalam Novel “Setitik Kaut Selakksa Cinta” Dan “ Setangkai Puisi Cinta” Karya Izzatul Jannah.

MOUSE OVER PADA POWER POINT

MOUSE OVER PADA POWER POINT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester Lima
Mata Kuliah Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis TI







Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020





PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
MOUSE OVER PADA POWER POINT

Mouse over pada powerpoint bisa kita gunakan di dalam presentasi. Kapan penggunaan mouse over ini? mouse over bisa digunakan ketika mouse mengarah pada suatu objek kemudian ada perubahan, misalnya perubahan warna atau apa saja yang kita inginkan. Dalam paper ini saya memberikan contoh perubahan warna. Langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu:
1. Pada slide pertama, buat 2 tombol menggunakan autoshape.


2. Duplicate slide tersebut (ctrl+D), ganti warna pada tombol 1 dan 2 sesuai keinginan, misalnya merah dan kuning.


3. Duplicate slide kedua (ctrl+D). Ganti warna tombol pada slide kedua sesuai keinginan, misalnya hijau dan ungu.

4. Gabungkan ketiga slide tersebut. Pada slide 1, klik kanan tombol 1, kemudian klik insert > action. Klik tab Mouse Over, pilih hyperlink to slide > pilih slide 2. Klik kanan tombol 2, kemudian klik action setting. Klik tab Mouse Over. Pilih hyperlink to slide > slide 3.Klik tab Mouse Over. Pilih hyperlink to : slide > pilih slide 3.







5. Pada slide 2, klik kanan regtangle, kemudian klik insert > action. Klik tab Mouse Over. Pilih hyperlink to : slide > pilih slide 1.
6. Pada slide 3, klik kanan regtangle, kemudian klik insert > action. Klik tab Mouse Over. Pilih hyperlink to : slide > pilih slide 1.
7. Tekan F5 untuk melihat hasilnya, kemudian arahkan mouse ke tombol-tombol tersebut. Ketika tombol disentuh maka akan berubah warna.

PERMASALAHAN MAKNA

PERMASALAHAN MAKNA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Semester Lima
Mata Kuliah: Psikolinguistik
Dosen Pengampu : Dr. Andayani, M.Pd.








Disusun oleh:
Ika Rahayu Susilaningsih
K1207020




PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
Permasalahan Makna

A. Hakikat Makna Ujaran
Berbicara tentang makna, pertama perlu diingat adanya dua bidang kajia tentang makna, yaitu semantik dan semiotik. Kedua bidang kajian ini sama-sama meneliti atau mengkaji tentang makna. Bedanya, kalau emantik khusus mengkaji makna bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia, sedangkan semiotik mengkaji semua makna yang ada dalam kehidupan manusia seperti makna-makna yang terkandung oleh berbgai tanda dan lambang serta isyarat-isyarat lainnya. Kemudian, karena bahasa sebenarnya juga tidak lain sebagai suatu sistem lambang (Chaer: 2003: 268), maka semantik bisa dikatakan juga termasuk atau menjadi bagian dalam kajian semiotik. Dalam praktek berbahasa, ternyata makna suatu ujaran tidak bisa dipahami hanya dari kajian emanti, tetapi juga harus dibantu oleh kajian semiotik, seperti pemahaman mengenai gerak-gerik tubuh dan anggota tubuh, serta mimik, dan sebagainya.
Dalam kajian semantik kalau misalnya kepada kita ditanyakan apa makna kata tirta, maka spontan kita akan menjawab bahwa tirta dalah “air”. Jadi, kata tirta diberi makna dengan sinonimnya, yaitu air. Kalau ditanyakan apakah makna kata avtur maka kita akan menjawab bahwa avtur adalah “bahan bakar pesawat terbang”. Jadi, kata avtur diberi makna dalam sebuah frase. Lalu, kalau ditanyakan apa makna kata kuda, maka mungkin kita akan menjelaskan dalam bentuk definisi, “kuda adalah sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”. Maka makna kata tirta, avtur dan kuda di atas akan bisa kita pahami kalau sebelumnya kit telah mengerti makna kata-kata tersebut. Kalau makna kata-kata tersebut tidak kita pahami sebelumnya, maka makna kata tirta, avtur dan kuda itu tetap tidak kita ketahui. Jadi, jelas untuk dapat memahami makna sebuah kata kita harus memahami terlebih dahulu makna kata-kata yang dirangkai untuk menjelaskan makna kata itu.
Makna adalah bagian yang selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) dalam http://susilo.adi.setyawan.student.fkip.uns.ac.id/ mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman dalam http://susilo.adi.setyawan.student.fkip.uns.ac.id/ mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure ( dalam Abdul Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1. Maksud pembicara;
2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya,dan
4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa
Dari pengertian para ahli bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. makna merupakan hubungan antara bahsa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti. Batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
Aspek-aspek makna dalam semantik ada empat hal, yaitu :
1. Pengertian (sense)
Pengertian disebut juga dengan tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara dengan lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca mempunyai kesamaan bahasa yang digunakan atau disepakati bersama. Pengertian adalah sistem hubungan-hubungan yang berbeda dengan kata lain di dalam kosakata.
2. Nilai rasa (feeling)
Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan.dengan kata lain, nilai rasa yang berkaitan dengan makna adalah kata0kata yang berhubungan dengan perasaan, baik yang berhubungan dengan dorongan maupun penilaian. Jadi, setiapkata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan perasaan.
3. Nada (tone)
Aspek makna nada adalah sikap pembicara terhadap kawan bicara. Aspek nada berhubungan pula dengan aspek makna yang bernilai rasa. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan.
4. Maksud (intention)
Aspek maksud merupakan maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan. Maksud yang diinginkan dapat bersifat deklarasi, imperatif, narasi, pedagogis, persuasi, rekreasi atau politik.

B. Makna Leksikal
Istilah leksikal adalah bentuk adjektiva dari nomina leksikon, yang berasal dari leksem. Dalam kajian morfologi leksem lazim diartikan sebagai bentuk dasar yang setelah mengalami proses gramatikalisasi akan menjadi kata (Kidalaksana dalam Chaer: 2003: 269). Sedangkan dalam kajian semantik leksem lazim diartikan sebagai satuan bahasa yang memiliki satu makna atau satu pengertian, seperti air dalam arti “sejenis barang cair yang digunakan untuk pengertian sehari-hari”, pensil dalam arti ‘sejenis alat tulis, yang terbuat dari kayu dan arang”, meja hijau dalam ari “pengadilan” adalah contoh-contoh leksem. Dari contoh-contoh tersebut nampak bahwa leksem itu bisa berupa kata dan juga bisa berupa gabungan kata. Namun, dalam dunia pendidikan bentuk-bentuk seperti meja hijau dan membanting tulang lazim diartikan idiom.
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal. Misalnya secara gramatikal bentuk “menjual rumah” bermakna “yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya”, tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk “menjual gigi” tidak memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna “tertawa keras-keras”. Jadi, makna yang dimiliki seperti makna gigi itulah yang disebut makna gramatikal.
Makna leksikal adalah makna yang secara inhern dimiliki oleh sebuah leksem. Makna leksikal juga dapat diartikan sebagai makna secara lepas, di luar konteks kalimatnya. Makna leksikal ini terutama yang berupa kata di dalam kamus biasanya didaftarkan sebagai makna pertama kata atau entri yang terdaftar dalam kamus itu. Misalnya, “bagian tubuh dari leher ke atas” adalah makna leksikal dari kata kepala, sedangkan makna “ketua” atau “pemimpin” bukanlah makna leksikal, sebab untuk menyatakan makna “ketua’ atau “pemimpin”, kata kepala itu harus bergabung dengan unsur lain, seperti dalam frase kepala sekolah atau kepala kantor.
Tahap pertama untuk bisa meresapi makna suatu ujaran adalah memahami makna leksikal setiap butir leksikal (kata, leksem) yang digunakan di dalam ujaran itu. Andaikata kita dak tahu makna leksikal yang digunakan dalam sebuah ujaran kita bisa melihatnya di dalam kamus, atau bertanya kepada orang lain yang tahu. Namun, persoalannya tidak seederhana itu sebab ada sejumlah kasus di dalam studi semantik yang menyangkut makna lesikal itu. Permasalahan yang menyangkut makna leksikal antara lain:
1. Kesinoniman
Pada setiap bahasa ada sejumlah kata yang memiliki kesamaan makna. Hal ini dalam studi semantiklazim disebut dengan istilah sinonim, sinonimi, atau kesinoniman. Dalam bahasa Indonesia misalnya kata ayah memiliki kesamaan makna dengan kata bapak, kata mati memiliki kesamaan makna dengan kata meninggal, wafat, dan mampus. Kasus kesinoniman ini bisa menjadi masalah dalam meresepsi makna ujaran. Hal ini seperti yang dikemukakan Verhaar (dalam Chaer:270) bahwa dua buah kata yang bersinonim maknanya hanya kurang lebih sama. Untuk membuktikan hal itu dapat diambil contoh kata ayah dan bapak seperti di bawah ini:
(a). “Bapak” mau pergi ke mana?
“Ayah” mau pergi ke mana?

(b) Selamat pagi “Bapak” Lurah?
Selamat pagi “Ayah” Lurah?
Ternyata pada kalimat kedua kata bapak tidak dapat digantikan dengan kata ayah. Hal ini membuktikan bahwa kata bapak dan ayah yang disebut bersinonim atau memiliki kesamaan makna ternyata tidak selalu dapat dipertukarkan.
Ketidakpersisan makna diantara kata-kata yang bersinonim adalah karena ada kaiah umum dalam kajian semantik bahwa bila bentuk (kata, leksem) berbeda maka maknanya pun akan berbeda, meskipun perbedaannya hanya seikit (Chaer:2003:271). Ketidakpersisan ini yang menyebabkan dua buah kata yang bersinonim tidak dapat dipertukarkan, bisa disebabkan oleh:
(1). Faktor areal
Faktor areal adalah faktor dimana kata itu biasa digunakan. Misalnya kaya saya dan kata beta adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kalau kata saya bisa digunakan di daerah mana saja di seluruh Indonesia, tetapi kata beta hanya cocok digunakan di wilayah atau dalam konteks Indonesia bagian timur. Contoh lain kata pepaya dan kates adalah dua buah kata yang bersinonim. Hanya saja kalau kata pepaya dapat dignakan di wilayah mana saja, sedangkan kates hanya cocok untuk konteks atau wilayah Jawa.
(2). Faktor sosial
Faktor sosial adalah faktor tingkat kedudukan sosial di antara dua partisipan yang menggunakan kata-kata yang bersinonim itu. Umpamanya kata saya dan aku adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kalau kata saya dapat diginakan oleh siapa saja terhadap siapa saja, sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap lawan bicara yang lebih muda atau kedudukan sosialnya lebih rendah. Dalam hal ini munculnya kata pirsawan atau pemirsa adalah karena faktor sosial ini.
(3). Faktor temporal
Faktor temporal adalah faktor waktu penggunaan kata-kata itu. Misalnya kata hilubalang dan kata komando adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, keduanya tidak bisa dpertukarkan begitu saja, sebab kata hulubalang hanya cocok digunakan untuk konteks arkais atau klasik, sedangkan kata komando untuk masa sekarang.
(4). Faktr bidang kegiatan
Faktor bidang kegitan adalah faktor dalam bidang kegiatan apa kata-kata itu bisa digunakan. Misalnya kata matahari dan surya adalah dua buah kata yang bersinonim. Hanya saja kata matahari dapat digunakan dalam bidang apa saja, sedangkan kata surya hanya bisa digunakan dalam bbidang sastra.
(5).Faktor fitur semantik
Faktor fitur semantik adalah faktor ciri-ciri semantik yang dimiliki secara inhern oleh kata-kata itu sehingga membedakan kata-kata itu satu dari yang lainnya, meskipun kata-kata itu bersinonim. Misalnua kata meihat, melirik, mengintip,menonton, dan melotot adalah lima buah kata yang bersinonim. Kalau kata melihat bisa digunakan untuk mengganti keempat kata lainnya, maka keempat kata lainnya tidak dapat digunakan untuk mengganti kata melihat. Kata melirik digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata”, kata mengintip digunakan untuk menyatakan “melihat dari celah-celah sempit”, kata menonton digunakan untuk menyatakan “melihat untuk hiburan”, dan kata melotot digunakan untuk menyatakan “melihat dengan mata lebar-lebar”. Jadi, kata melihat bersifat umum, sedangkan keempat kata lainnya lebih bersifat spesifik.
2. Keantoniman
Kentoniman lazim diartikan sebagai keadaan dua butir leksikal (kata atau leksem) yang maknanya bertentangan, berkebalikan, atau berkontras. Verhaar (dalam Chaer : 273) mengemukakan bahwa dua buah kata yang berantonim memiliki makna yang dianggap kebalikan yang satu dari yang lain, maka persoalan keantoniman menjadi cukup sukar bagi penutur dalam melahirkan ujaran. Ada beberapa tipe keantoniman, antara lain:
a. Keantoniman mutlak
Yakni keantoniman natara dua buah kata atau leksem yang maknanya saling meniadakan.Misalnya kata hidup dan manti, sesuatu yang masih hidup tentu belum mati, dan sesuatu yang sudah mati tentu tidak bisa hidup lagi. Keantoniman mutlak ini memang tidak banyak contohnya, karena dalam kehidupan kita kemutlakan jarang ada. Yang lazim dan banyak adalah kerelatifan.
b. Keantoniman Relatif
Yakni keantoniman antara dua dua buah kata atau leksem yang pertentangan maknanya bersifat relative, tidak mutlak. Misalnya kata baik dan buruk. Sesuatu yang disebut baik belum tentu buruk, dan sesuatu yang disebut buruk belum tentu baik. Kerelatifan baik dan buruk bisa ditandai dengan keterangan “sangat”, “lebih”, atau “kurang”.
c. Keantoniman Relasional
Yakni keantoniman antara dua buah kata atau leksem yang maknanya saling melengkapi, dalam arti adanya sesuatu karena adanya yang lain. Misalnya antara kata suami dan kata isteri. Dalam kasus ini adanya suami karena adanya istri dan adanya istri karena adanya suami.
Dalam keantoniman relasional, relasional ini tidak tersirat adanya makna pertentangan, kebalikan, atau kontras. Yang tampak adalah cirri keberpasangan di antara kedua kata keantoniman relasional itu.
d. Keantoniman hierarkial
Yaitu keantoniman antara dua buah kata atau leksem yang maknanya menyatakan jenjang urutan dari ukuran, nilai, timbangan, atau kepangkatan. Misalnya keantoniman antara tamtama dan bintara,prajurit dengan opsir, dll. Kata-kata yang berantonim hierarkial ini juga tidak menunjukkan adaya pertentangan, atau kebalikan. Yang atmpak adalah urutan jenjang ukuran atau nilai.
e. Keantoniman Ganda
Yaitu keantoniman sebuah kata dengan pasangan yang lebih dari satu. Misalnya kata diam, bisa berantonim dengan kata bergerak, bicara, dan bekerja.
3. Kehomoniman
Kehomoniman lazim diartikan sebagai keadaan adanya dua buah kata atau lebih yang ciri fisiknya persis sama namun memiliki makna yang berbeda karena masing-masing merpakan identitas kata yang berlawanan. Misalnya kata pacar dalam arti “kekasih” dan dalam arti “pemerah kuku”.
Kasus kehomoniman ini dapat menimbulkan kesalahan reseptif pada pihak pendengar jika penutur tidak menyampaikan ujaran secara lengkap. Misalnya:
(a). Mana hak saya?
(b). Saya minta kopinya saja.
Kata hak bisa ditafsirkan “bagian bawah sepatu” dan bisa juga ditafsirkan “bagian atau sesuatu yang harus diterima”. Sedangkan kata kopi bisa diartikan “minuman kopi” dan bisa juga “salinan surat yang difotokopi”.
Berdasarkan contoh di atas, maka sudah seharusnya seoranng penutur harus berhati-hati dalam menggunakan kata yang berhati-hati dalam menggunakan kata yang berhomonim ini di dalam ujarannya. Ujaran yang baik adalah ujaran yang tidak menimbulkan makna ganda.
Dalam bahasa tulis ada istilah homograf yang digunakan untuk menyebutkan adanya bentuk-bentuk kata yang tulisannya sama persis, tetapi lafalnya berbeda dan maknanya tentu juga berbeda karena merupakan dua buah kata yang berbeda. Misalnya kata dalam arti “bagian di depan pintu rumah” dan dilafalkan (teras) dan kata dalam arti “inti kayu” yang dilafalkan sebagai (teras). Contoh lain kata dalam arti “sejenis makanan terbuat dari kacang kedelai” dan dilafalkan (tahu) dan kata alam arti “mengerti” dan dilafalkan (tau).
Istilah homografi sering didikotomikan dengan homofoni yakni untuk menyebut adanya dua buah kata atau lebih yang lafalnya sama tetapi artinya berbeda. Misalnya:
• Guci itu adalah peninggalan masa kutai. (masa = waktu)
• Kasus tabrakan yang menghebohkan itu dimuat di media massa.(massa = masyarakat umum)
4. Kehiponiman dan Kehiperniman
Kehiponiman lazim diartikan sebagai keadaan sebuah kata yang maknanya tercakup atau berada di bawah kata yang lain. Misalnya kata merpati yang maknanya tercakup di dalam makna kata burung. Merpati memang burung tetapi burung bukan hanya merpati; bisa juga tekukur, gelatik, garuda, murai,dll.
Kalau hubungan natara merpati dan burung disebut hiponim, maka kebalikannya hubungan antara burung dan merpati disebut hipernim. Lalu, relasi sesame antara merpati, tekukur, garuda, dan murai disebut kohiponim dari kata burung.
Kasus kehiponiman dan kehiperniman mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya kata yang maknanya berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang secara hierarkial berada di atasnya. Sebagai contoh kata burung yang merupakan hipernim terhadap kata merpati, tekukur, kutilang, dan sebagainya, akan menjadi hiponim terhadap kata unggas. Lalu kata unggas yang merupakan hipernim terhadap kata burung, itik, dan angsa akan menjadi hiponim terhadap kata binatang.
Konsep hiponim dan hipernim perlu dipahami untuk dapat membuat kategori spesifik atau dalam membuat klasifikasi dari suatu konsep yang bersifat umum. Hanya perlu disadari konsep generik dan spesifik butir-butir leksikal dari bahasa adalah tidak sama karena masalah semantik bahasa ini sangat berkaitan erat dengan masalah budaya (Larson dalam Chaer: 2003: 277).

C. Makna Gramatikal
Makna gramatikal yakni makna yang muncul sebagai hasil suatu proses gramatikal. Proses gramatikal dalam bahasa Indonesia antara lain afiksasi, reduplikasi, komposisi, pemfrasean, dan pengkalimatan. Makna-makna gramatikal yang dihasilkan oleh proses gramatikal tersebut berkaitan erat dengan fitur makna.
1. Fitur Makna
Makna setiap butir leksikal dapat dianalisis atas fitur-fitur makna yang membentuk makna keseluruhan leksikal itu seutuhnya. Misalnya kata bahasa Inggris boy, man, girl, dan woman, jika dianalisis fitur-fitur semantiknya akan tampak seperti pada bagan berikut ini:


Fitur Makna Boy Man Girl Woman
1. Manusia + + + +
2. Dewasa - + - +
3. Laki-laki + + - -

Dari bagan tampak bahwa kata boy memiliki fitur makna [+manusia], [-dewasa], sedangkan man memiliki fitur semantik [+manusia], [+dewasa], [+laki-laki]. Jadi yang membedakan boy dan man bahwa boy berfitur [-dewasa[, sedangkan man berfitur [+dewasa]. Perbedaan boy dan girl terletak pada fitur [+laki-laki] dan [-laki-laki].
Dalam bahasa Inggris, disamping boy dan girl ada kata son dan daughter dan dalam bahasa Indonesia hanya ada kata anak. Kalau kita bandingkan kata boy, girl, son, daughter, dan anak tampak fitur-fitur maknanya:
Fitur Makna Boy Girl Son Daughter Anak
1. Manusia + + + + +
2. Dewasa - - - - +
+ + +
3. Laki-laki + - + _ +

Dari bagan tersebut kita bisa melihat bahwa bahasa Inggris memiliki empat butir leksikal yang berkenaan dengan anak, dengan fitur-fitur maknanya yang lebih spesifik. Sedangkan bahasa Indonesia hanya memiliki satu butir leksikal yaitu anak dengan itur semantik yang masih umum. Oleh karena itu, untuk menampung konsep boy dalam bahasa Indonesia harus ditambah fitur (=laki-laki) menjadi anak laki-laki, dan untuk menampung konsep girl kita harus menambah (-laki-laki) ) (=perempuan) sehingga menjadi anak perempuan.
2. Makna Gramatikal Afiksasi
Afiksasi adalah pembubuhan afiks pada bentuk dasar. Kita banyak menemui kesalahan penggunaan afiks-afika dalam tulisan, baik bagi mereka yang hanya berpendidikan menengah maupun mereka yang berpendidikan tinggi. Dalam praktek berbahasa orang lebih umum menggynakan konstruksi, seperti naik sepeda daripada bersepeda, begitu juga konstruksi minum kopi daripada mengopi. Hal ini tentunya ada kaitan dengan masalah bahasa Indonesia secara psikologis bukan bahasa pertama bagi sebagian besar orang Indonesia. Bahasa ibu mereka adalah bahasa daerah mereka masing-masing.
Kalau sebuah bentuk dasar memiliki fitur makna yang ’’menonjol’’ lebih dari satu, maka makna gramatikal yang munculpun bisa lebih dari satu. Umpamanya kata patung memiliki fitur makna yang menonjol (a) {+hasil (pekerjaan)} dan (b) {+sifat diam (tak berbicara, tak bergerak)}, maka bila dibubuhi prefiks me- menjadi kata mematung akan memunculkan makna gramatikal (a) ’membuat patung’ (b) ’diam seperti patung’. Padahal kata menyambal hanya bermakna gramatikal ’membuat sambal’ dan kata membatu hanya bermakna gramatikal ’(keras) seperti batu’. Hal ini terjadi karena kata sambal hanya memiliki satu fitur makna yang menonjol yaitu {(+hasil) pekerjaan} dan kata batu hanya memiliki satu fitur makna yang menonjol yaitu {(+keras) seperti batu}.
Untuk mengetahui makna gramatikal makna yang diacu oleh kata mematung tampaknya tidak hanya pada tingkat morfologi, melainkan kita harus melihat pada tingkatan gramatikal yang lebih tinggi, yaitu tingkatan sintaksis. Contoh:
a). Usaha mematung hanya dilakukan penduduk desa itu.
b). Dia duduk saja mematung dalam seminar itu.
Kalimat pertama memberikan makna gramatikal ’membuat patung’, sedangkan kalimat kedua memberikan makna gramatikal ’diam seperti patung’.
3. Makna Gramatikal Reduplikasi
Reduplikasi juga merupakan satu proses gramatikal dalam pembentukan kata. Secara umum, makna gramatikal yang dimunculkannya adalah menyatakan ’pluralis’ atau ’intensitas’. Contohnya rumah direduplikasikan menjadi rumah-rumah yang bermakna gramatikal ’banyak rumah’.
Konsep bahwa reduplikasi memberikan makna ’pluralis’ atau ’intensitas’ secara psikologis telah tertanam pada nurani kebanyakan orang Indonesia, sehingga sering kali terjadi kesalahan dalam penggunaannya. Contoh : Para bapak-bapak diharap menunggu dengan tenang. Penggunaan reduplikasi di sini salah karena kata para sudah berarti jamak.
4. Makna Gramatikal Komposisi
Permasalahan makna dari segi komposisi ini biasanya muncul karena sebuah ujaran yang rancu maknanya. Misalnya lukisan yusuf. Ujaran tersebut memiliki tiga nmakna, yaitu (a) lukisan karya Yusuf, (b) luki san wajah yusuf, (c) lukisan wajah yusuf. Ketiga makna ini bisa terjadi karena kata yusuf memiliki fitur makna (+manusia), (+pemilik), (+pembuat), dan (+objek).
5. Kepolisemian
Polisemi adalah satu buah kata/ ujaran yang memiliki makna lebih dari satu (http://studycycle.blogspot.com). Setiap satu entri kata dalam kamus yang memiliki makna leksikal lebih dari satu adalah polisemi.
Contoh polisemi dalam kamus: kata “ekor” dalam KBBI online

ekor n 1 bagian tubuh binatang dsb yg paling belakang, baik berupa sambungan dr tulang punggung maupun sbg lekatan; 2 kata penggolong untuk binatang 3 sesuatu yg rupanya (keadaannya) spt ekor 4 bagian yg di belakang sekali (tt pesawat, pasukan, dsb) 5 akibat dr kejadian atau keadaan sebelumnya 6 ki orang yg harus ditanggung (diurus, dibiayai, dsb); tanggungan

Konteks wacana sangat diperlukan untuk mengetahui makna kata yang mana yang dimaksudkan oleh penulis.
Contoh:
• Ayah membeli ayam jantan seharga Rp 100.000 per ekor. (Kata “ekor” dalam kalimat tersebut berarti kata penggolong untuk binatang).
• Ibu memotong ekor ayam itu untuk menandai ayam miliknya. (Kata “ekor” dalam kalimat tersebut di atas berarti bagian tubuh binatang dan sebagainya yang paling belakang, baik berupa sambungan dari tulang punggung maupun sebagai lekatan).

D. Makna Kontekstual
Memahami makna leksikal dan gramatikal saja belum cukup untuk dapat memahami makna suatu ujaran, sebab untuk dapat memahami makna suatu ujaran harus pula diketahui konteks dari terjadinya ujaran itu, atau tempat terjadinya ujaran itu. Konteks ujaran berupa:
1. Konteks Intra Kalimat
Sudah menjadi asumsi umum bahwa makna sebuah kata tergantung pada kedudukannya di dalam kalimat, baik menurut letak posisiya di dalam kalimat maupun menurut kata lain yang berada di depan maupun belakang kata tersebut. Contoh:
a). Sungai itu dalam sekali.
b). Dalam sungai itu 20 meter.
Makna kata dalam pada kedua kalimat tersebut tentunya berbeda.
2. Konteks Antarkalimat
Banyak ujaran dalam bentuk kalimat yang baru bias dipahami maknanya berdasarkan hubungannya dengan makna-makna kalimat sebelum atau sesudahnya. Contoh:
a). Meskipun persiapan itu telah dilakukan dengan seksama, tetapi operasi itu batal dilaksanakan. Menurut keterangan tim medis hal itu terjadi karena tiba-tiba pasien mengalami komplikasi.
b). Meskipun persiapan itu telah dilakukan dengan seksama, tetapi operasi itu batal dilaksanakan. Hal itu karena rencana itu telah bocor, sehingga tak sebuah becakpun yang keluar.
Kata operasi pada paragraf pertama bermakna ‘pembedahan’, sedangkan pada paragraf kedua bermakna ‘penertiban’. Kedua makan kata operasi itu bias dipahami karena kalimat yang mengikutinya.
3. Konteks Situasi
Yang dimaksud konteks situasi adalah kapan, di mana, dan dalam suasana apa ujaran itu diucapkan. Contohnya kalimat ‘Tiga kali empat berapa?’. Bila diucapkan oleh seorang guru SD maka jawabannya adalah dua belas, tetapi bila kalimat tersebut diucapkan oleh seseorang yang ditujukan kepada tukang afdruk foto maka jawabannya bisa saja ‘seribu’ atau ‘seribu lima ratus’.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa makna bahasa seperti yang diresepsi pendengar bukanlah semata-mata masalah intralingual belaka seperti yang disebutkan Verhaar, melainkan juga masalah ekstralingual.
E. Makna Referensial
Sebuah kata disebut memiliki makna referensial kalau ada referensinya atau acuannya. Kata-kata seperti “kuda” disebut memiliki makna referensial kalau ada acuannya atau referensinya. Kata-kata seperti “kuda”, “merah”, dan “gambar” adalah termasuk kata-kata yang memiliki makna referensial. Kata-kata seperti “dan”, “atau”, “karena” tidak bermakna referensial karena kata-kata itu tidak mempunyai referens.
Berkenaan dengan acuan ini, ada sejumlah kata yang disebut kata-kata deiktik yang acuannya tidak menetap pada satu wujud, melainkan dapat berpindah dari wujud yang satu ke wujud yang lain. Kata-kata yang deiktik ini adalah kata-kata seperti pronomina, seperti “dia”, “saya”, “kamu”, “kata-kata yang menyatakan ruang”, ‘kata-kata yang menyatakan waktu”, ‘kata-kata yang disebut kata petunjuk”. Contoh pronomina kata saya yang acuannya tidak sama:
• “Tadi pagi saya bertemu Pak Ahmad”, kata Ani kepada Ali.
• “Saya juga bertemu beliau tadi pagi”, sahut Ali.
• “Di mana kalian bertemu?”, tannya Amir. “Saya sudah lama tidak berjumpa dengan beliau”.
Pada kalimat pertama kata saya mengacu pada Ani, kalimat kedua pada Ali, dan kalimat terakhir pada Amir.
F. Ujaran Taksa
Ujaran taksa adalah ujaran yang maknanya bisa ditafsirkan bermacam-macam. Penyebab ujaran taksa antara lain:
1. Kekurangan Konteks
Kekurangan konteks merupakan penyebab utama terjadinya ujaran taksa. Contoh:
a). Minggu lalu saya bertemu paus.
b).Minggu lalu ketika saya ke pantai saya bertemu paus.
Pada kalimat pertama, makna kata paus masih rancu, bisa saja bermakna ‘ikan paus’ dan bias juga bermakna ‘nama pemimpin agama katolik’. Karena adanya penambahan konteks tempat (ketika saya ke pantai), maka makna kata paus menjadi jelas, yakni ‘ikan paus’.
Selain dengan konteks kalimat, konteks situasi jiga dapat menghilangkan ketaksaan. Misalnya jika kalimat “minggu lalu saya bertemu paus” diucapkan ketika seseorang berada di halaman Vatikan atau di kota Roma, akan menjadi jelas bahwa yang ditemui adalah Paus pemimpin teringgi agama Katolik. Jika kalimat tersebut diucapkan oleh seseorang dalam suatu pelayaran di tengah samudera, juga akan menjadikan jelas bahwa yang ditemui adalah paus, sejenis ikan besar.
2. Ketidakcermatan Struktur Gramatikal
Ketidakcermatan struktur gramatikal meliputi struktur frase, klausa, kalimat, dan wacana. Ketaksaan di sini selain karena ketidakcermatan struktur gramatikal, bisa juga terjadi pada konstruksi yang struktur gramatikalnya berterima tetapi berbagai kendali semantik telah menimbulkan ketaksaan pada konstruksi itu.
a). Struktur frase
Contoh: lukisan yusuf.
Mess dalam pembicaraannya mengenai aneksi mengatakan konstruksi di atas dapat bermakna (a) lukisan itu milik Yusuf, (b) lukisan itu karya Yusuf, (c) Lukisan itu menampilkan wajah Yusuf. Namun, Mess tidak menjelaskan mengapa konstruksi di atas bisa memiliki tiga buah kemungkinan makna. Dia hanya mengatakan karena konstruksi di atas bukan sebuah kata majemuk, melainkan sebuah aneksi.
Kalau konstruksi di atas kita analisis menurut teori komponen makna dari Nida atau Larson, kiranya penyebab ketaksaan konsytruksi di atas dapat dijelaskan. Ketaksaan tersebut bersumber pada fitur-fitur makna yang secara inhern dimiliki oleh fitur Yusuf tersebut. Leksem Yusuf sebagai unsur kedua dalam frase lukisan Yusuf memiliki fitur makna (+manusia), yang berpotensi juga untuk memiliki fitur makna (+pemilik). Karena itu, jadilah konstruksi itu memiliki makna gramatikal “milik”. Leksem Yusuf juga berpotensi memiliki fitur semantik (+pelaku). Karena itulah, konstruksi lukisan Yusuf memiliki makna gramatikal “luisan karya Yusuf”. Kita bandingkan dengan konstruksi seperti lukisan Afandi, puisi rendra, dan novel Mira W, yanng juga bermakna gramatikal “hasil, karya” karena nama Afandi dikenal sebagai pelaku pembuat lukisan, nama Mira W sebagai penulis nivel, dan Rendra sebagai penulis puisi.Selain itu, leksem Yusuf juga berpotensi memiliki fitur (+objek) atau (+sasaran). Karena itulah konstruksi lukisan Yusuf juga memiliki makna gramatikal “objek lukisan”. Kita bandingkan dengan konstruksi seperti lukisan banteng, pembangunan jalan, dan penulisan novel yang juga bermakna gramatikal “objek pembuatan”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyebab ketaksaan pad konstruksi di atas adalah fitur makna yang dimiliki secara inhern oleh leksem Yusuf.
b). Struktur kalimat
Contoh: Guru baru datang.
Kalimat tersebut menjadi taksa karena dapat ditafsirkan menjadi ’guru yang baru diangkat itu datang’ dan dapat pula diartikan ’guru itu terlambat datang (baru datang)’.Penyebabnya karena kata baru dapat ditafsirkan sebagai bagian dari frase nominal guru baru dan juga dapat ditafsirkan sebagai bagian dari frase verbal baru dating. Untuk menghilangkan ketaksaan konstruksi tersebut adalah dengan memberi penanda batas antar fungsi subjek dan fungsi predikat. Misalnya dengan menempatkan kata itu pada bagian akhir subjeknya.
c). Struktur wacana
Contoh: Ali dan Ahmad bersahabat karib. Dia sangat mencintai istrinya.
Wacana sederhana tersebut menjadi taksa karena dapat ditafsirkan bermakna ‘Ali sangat mencintai istrinya’ dan dapat pula bermakna ‘Ahmad sangat mencintai istri Ali’. Penyebabnya adalah karena penggunaan pronomina persona dia dan nya yang tidak cermat, yang bias mengacu secara anaforis pada Ali dan juga pada Ahmad. Lebih baik tetap menggunakan kata Ali atau Ahmad.
3. Kekurangan Tanda Baca
Kekurangan tanda baca dapat menyebabkan ketaksaan. Ketaksaan karena tanda baca ini tentu saja hanya terjadi pada ragam nahasa tulis karena bahasa tulis tidak memiliki intonasi.
Contoh: Buku sejarah baru.
Konstruksi tersebut menjadi taksa karena dapat ditafsirkan bermakna ‘buku itu mengenai sejarah baru’ dan dapat pula bermakna ‘buku baru itu mengenai sejarah’. Menurut pedoman EYD ketaksaan pada konstruksi tersebut akan hilang jika antara satuan-satuan leksikal yang secara semantik berdekatan diberi tanda hubung (-).Untuk menyatakan ‘buku itu mengenai sejarah baru’ maka ditulis: Buku sejarah-baru. Sedangkan untuk menyatakan ‘buku baru itu mengenai sejarah’, maka ditulis: Buku-sejarah baru.
Dengan disisipkannya tanda hubung antara kata sejarah dan kata baru, maka urutan sejarah-baru itu menjadi sebuah satuan semantik. Sebaliknya, dengan disisipkannya tanda hubung antara kata buku dan kata sejarah maka urutan buku-sejarah itu menjadi sebuah satuan semantik.












DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Aspek Makna dalam Semantik dan Keterkaitannya dengan Jenis-jenis Makna. http://susilo.adi.setyawan.student.fkip.uns.ac.id/ (Diakses Tanggal 25 Desember 2009)
Polisemi. http://studycycle.blogspot.com. (Diakses Tanggal 25 Desember 2009)

RANCANGAN INSTRUMEN MOTIVASI BELAJAR

RANCANGAN INSTRUMEN
MOTIVASI BELAJAR
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Lima
Mata Kuliah: Pengembangan Instrumen Penelitian
Dosen Pengampu : Dr. Budhi Setiawan, M.Pd.








Disusun oleh:
Ika Rahayu Susilaningsih
K1207020



PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

A. Kajian Teori
Motivasi merupakan hal yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan seseorang. Huitt, W. (2001) dalam http://sunartombs.wordpress.com// mengatakan motivasi adalah suatu kondisi atau status internal (kadang-kadang diartikan sebagai kebutuhan, keinginan, atau hasrat) yang mengarahkan perilaku seseorang untuk aktif bertindak dalam rangka mencapai suatu tujuan. Jadi ada tiga kata kunci tentang pengertian motivasi menurut Huitt, yaitu: 1) kondisi atau status internal itu mengaktifkan dan memberi arah pada perilaku seseorang; 2) keinginan yang memberi tenaga dan mengarahkan perilaku seseorang untuk mencapai suatu tujuan; 3) Tingkat kebutuhan dan keinginan akan berpengaruh terhadap intensitas perilaku seseorang.
Sejalan dengan pendapat Huit, Crow dalam Riani (2005:42) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau aktivitas untuk mencapai tujuan. Tevan dan Smith dalam Riani (2005:42) juga berpendapat mengenai motivasi, menurut mereka motivasi adalah konstruksi yang mengaktifkan perilaku, sedangkan komponen yang lebih spesifik dari motivasi yang berhubungan dengan tipe perilaku tertentu disebut motif.
Motivasi yang lebih lengkap menurut Sudarwan Danim (2004 : 2) dalam http://sunartombs.wordpress.com// diartikan sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan, atau mekanisme psikologis yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Motivasi paling tidak memuat tiga unsur esensial, yakni : (1) faktor pendorong atau pembangkit motif, baik internal maupun eksternal, (2) tujuan yang ingin dicapai, (3) strategi yang diperlukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai tujuan tersebut.
Motivasi adalah sesuatu yang menggerakkan dan mengarahkan tujuan seseorang dalam tindakan-tindakannya secara negatif atau positif. Motivasi merupakan sejumlah proses-proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu, baik yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi.
Motivasi yang ada pada setiap orang tidaklah sama, berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan pengetahuan mengenai pengertian dan hakikat motivasi, serta kemampuan teknik menciptakan situasi sehingga menimbulkan motivasi/dorongan bagi mereka untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh individu lain/ organisasi.
Belajar merupakan proses perubahan perilaku secara aktif, proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu, proses yang diarahkan kepada suatu tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman, proses melihat, mengamati, memahami sesuatu yang ingin dipelajari (Gino, dkk: 1998: 31).
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang dari luar. Kegiatan itu dilakukan dengan kesungguhan hati dan terus menerus dalam rangka mencapai tujuan.
Pentingnya motivasi dalam proses pembelajaran perlu dipahami oleh pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau bantuan kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik diakibatkan faktor dari dalam maupun luar siswa, untuk mencapai tujuan tertentu guna memenuhi / memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks pembelajaran maka kebutuhan tersebut berhubungan dengan kebutuhan untuk pelajaran.
Motivasi belajar siswa dapat dianalogikan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin motivasi belajar yang memadai yang akan mendorong siswa berperilaku aktif untuk berprestasi dalam kelas.
Fungsi motivasi dalam pembelajaran diantaranya :
1. Mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan, tanpa motivasi tidak akan timbul suatu perbuatan misalnya belajar.
2. Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3. Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya menggerakkan tingkah laku seseorang. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.
Motivasi belajar tidak akan terbentuk apabila orang tersebut tidak mempunyai keinginan, cita-cita, atau menyadari manfaat belajar bagi dirinya. Oleh karena itu, dibutuhkan pengkondisian tertentu, agar diri kita atau siapa pun juga yang menginginkan semangat untuk belajar dapat termotivasi (http://www.anneahira.com/motivasi/index.htm).

B. Definisi Konseptual
Motivasi belajar adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang dari luar. Kegiatan itu dilakukan dengan kesungguhan hati dan terus menerus dalam rangka mencapai tujuan.

C. Definisi Operasional
Motivasi belajar adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang dari luar. Kegiatan itu dilakukan dengan kesungguhan hati dan terus menerus dalam rangka mencapai tujuan. Motivasi belajar dapat diukur melalui perhatian siswa, relevansi, percaya diri, dan kepuasan.
D. Dimensi dan Indikator
Berdasarkan kajian teori, dimensi konseptual, dan dimensi operasional di atas, maka dimensi dan indikator-indikator yang merujuk pada motivasi belajar siswa dalam instrumen ini adalah sebagai berikut:
1. Perhatian (attention)
2. Relevansi (relevanse)
3. Percaya diri (confidence)
4. Kepuasan (satisfaction)



E. Jenis Instrumen
Instrumen yang digunakan untuk mengukur motivasi siswa yaitu angket atau kuisioner. Yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui.

F. Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Menulis Argumentasi
Variabel Indikator Kode Pernyataan Jumlah
Positif Negatif + - ∑
Motivasi Belajar 1. Perhatian (attention)
A1 9, 11,
17, 20, 23,
24, 28 2, 8, 12, 15, 22,
29 7 6 13
2. Relevansi (relevanse)
A2 4, 6, 18,
30 16, 26, 31, 33 4 4 8
3. Percaya diri (confidence)
A3 1, 13, 25,
35 3, 7, 19 4 3 7
4. Kepuasan (satisfaction)
A4 5, 10, 27, 32 14,21, 34 4 3 7
Jumlah Pernyataan 19 16 35


G. Instrumen Angket Motivasi Berprestasi
 Petunjuk Umum Mengerjakan
1. Kuisioner ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar motivasi belajar anda.
2. Pada kuisioner ini terdapat 35 pertanyaan. Berilah jawaban yang benar-benar sesuai dengan pilihan anda.
3. Bertanyalah kepada pengawas, apabila menemui kesulitan dalam memahami soal.
4. Jika Anda telah selesai mengerjakan, serahkan lembar soal dan lembar jawaban pada pengawas.
5. Waktu yang disediakan bagi Anda untuk mengerjakan kuisioner ini adalah 60 menit.
Selamat Mengerjakan......


1). Pertama kali saya melihat pembelajaran ini,saya percaya bahwa pembelajaran ini mudah bagi saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
2). Pada awal pembelajaran, ada sesuatu yang tidak menarik bagi saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
3). Materi pembelajaran ini lebih sulit dipahami daripada yang saya harapkan.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
4). Setelah membaca informasi pendahuluan, saya yakin bahwa saya mengetahui apa yang harus saya pelajari dari pembelajaran ini.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
5). Menyelesaikan tugas-tugas dalam pembelajaran ini membuat saya merasa puas terhadap hasil yang telah saya capai.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
6). Jelas bagi saya bagaimana hubungan materi pembelajaran ini dengan apa yang telah saya ketahui.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
7). Banyak halaman-halaman yang mengandung amat banyak informasi sehingga sukar bagi saya untuk mengambil ide-ide penting dan mengingatnya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
8). Materi pembelajaran ini sangat membosankan.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
9). Terdapat cerita, gambar atau contoh yang menunjukkan kepada saya bagaimana manfaat materi pembelajaran ini bagi beberapa orang.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
10). Menyelesaikan pembelajaran dengan berhasil sangat penting bagi saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
11). Kualitas tulisannya membuat saya sangat menarik.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
12). Pembelajaran ini sangat abstrak sehingga sulit bagi saya untuk tetap mempertahankan perhatian saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju

13). Selagi saya bekerja pada pembelajaran ini, saya percaya bahwa saya dapat mempelajari isinya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
14). Saya tidak menyukai pembelajaran ini sehingga saya tidak ingin mengetahui lebih lanjut pokok bahasan ini.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
15). Halaman-halaman pembelajaran ini kering dan tidak menarik.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
16). Isi pembelajaran ini tidak sesuai dengan minat saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
17). Cara penyusunan informasi pada halaman-halaman membuat saya tetap mempertahankannya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju

18). Terdapat penjelasan dan contoh-contoh bagaimana manusia menggunakan pengetahuan dalam pembelajaran ini.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
19). Tugas-tugas latihan pada pembelajaran ini terlalu sulit.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
20). Pada pembelajaran ini ada hal-hal yang merangsang rasa ingin tahu saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
21). Saya benar-benar tidak senang mempelajari pembelajaran ini.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
22). Jumlah pengulangan pada pembelajaran ini kadang-kadang membosankan saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
23). Isi dan gaya tulis pada pembelajaran ini memberi kesan bahwa isinya bermanfaat untuk diketahui.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
24). Saya telah mempelajari sesuatu yang sangat menarik dan tak terduga sebelumnya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
25). Setelah mempelajari pembelajaran ini beberapa saat, saya percaya bahwa saya akan berhasil dalam tes.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
26). Pembelajaran ini tidak relevan dengan kebutuhan saya sebab sebagian besar isinya tidak saya ketahui.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
27). Kalimat umpan balik setelah latihan, atau komentarkomentar lain pada pembelajaran ini, membuat saya merasa mendapat penghargaan bagi upaya saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
28). Keanekaragaman pada bacaan, tugas, ilustrasi dan lainlainnya memukau perhatian saya pada pembelajaran ini.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
29. Gaya tulisannya membosankan.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
30). Saya dapat menghubungkan isi pembelajaran ini dengan halhal yang telah saya lihat, saya lakukan, atau saya pikirkan di dalam kehidupan sehari-hari.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
31). Pada setiap halaman terdapat banyak kata yang sangat mengganggu.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
32). Saya merasa bahagia menyelesaikan dengan berhasil pembelajaran ini.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
33). Isi pembelajaran ini tidak bermanfaat bagi saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
34). Sedikitpun saya tidak memahami materi pembelajaran ini.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
35). Organisasi yang baik isi materi pembelajaran ini membuat saya percaya diri
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju bahwa saya akan dapat mempelajarinya.




H. Kalibrasi Instrumen
1. Validitas
Uji validitas yang digunakan untuk mengukur instrumen ini yaitu dengan rumus sebagai berikut:


2. Reabilitas
Uji reliabilitas yang digunakan untuk mengukur kereliabelan instrumen ini yaitu dengan menggunakan ά Cronbach, dengan rumus sebagai berikut:


I. Simpulan
Motivasi belajar adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang dari luar. Kegiatan itu dilakukan dengan kesungguhan hati dan terus menerus dalam rangka mencapai tujuan. Keberhasilan seorang siswa dalam belajar juga ditentukan oleh adanya motivasi dari dalam diri siswa tersebut.











Daftar Pustaka

Djaali, Puji Mulyono. 2008. Pengukuran dalam Pendidikan. Jakarta: Grasindo

Gino,dkk. 1997. Belajar dan Pembelajaran 1. Surakarta: UNS Press

Asri Laksmi Riani. 2005. Dasar-dasar Kewirausahaan. Surakarta: UNS Press

Motivasi Belajar. http://www.anneahira.com/motivasi/index.htm. (Diakses Tanggal 25 Desember 2009)

Motivasi Belajar. http://sunartombs.wordpress.com/2008/09/23/motivasi-belajar/. (Diakses Tanggal 25 Desember 2009)





















LAMPIRAN